Ada lima persoalan mendasar yang menjadi perdebatan di kalangan ulama di
sekitar masalah aborsi, pertama, apa yang dimaksud aborsi, kedua,
kapankah seorang manusia dianggap mulai hidup, apakah semenjak masa
konsepsi (pembuahan) atau ketika benih janin itu sudah berumur tertentu,
ketiga, apakah semua jenis aborsi dilarang secara mutlak atau ada
faktor-faktor pembenaran tertentu, keempat, apa akibat hukum, baik hukum
agama maupun hukum positif terhadap pelaku aborsi, kelima, Bagaimana
upaya mencegah meluasnya aborsi di dalam masyarakat?
Kelima
persoalan di atas menimbulkan perdebatan intensif di kalangan ahli- ahli
agama. Agama-agama samawai (Yahudi, Kristen, dan Islam) mempunyai
persamaan dan perbedaan pandangan di sekitar persoalan tersebut di atas.
Di antara para ahli dalam satu kelompok agama juga berbeda pendapat
satu sama lain tentang persoalan-persoalan tersebut di atas.
Keprihatinan masyarakat terhadap persoalan aborsi dapat dikaregorikan ke
dalam dua kategori, yaitu kelompok pro-kehidupan (pro-life), yang
menyetujui dan mempertahankan pelestarian kehidupan dengan cara
menentang oborsi, dan kelompok kedua dikategorikan sebagai pro-pilihan
(pro-chois), karena mendukung kebebasan reproduksi kaum perempuan dan
menganggap aborsi bagian dari hak asasi perempuan. Kedua kelompok ini
memperebutkan pengaruh di dalam masyarakat. Kelompok pertama banyak
didukung oleh kelompok agamawan sedangkan kelompok kedua banyak didukung
oleh kelompok leberal yang tidak mengindahkan pertimbangan-pertimbangan
religiusitas.
Pengertian dan Macam-macam Aborsi
Aborsi
(Inggris: abortion, Latin: abortus) berarti keguguran kandungan. Dalam
bahasa Arab, aborsi disebut isqath al-haml atau ijhadl, berarti
pengguguran janin dalam rahim. Aborsi dikenal ada dua macam, yaitu
aborsi karena kecelakaan atau tidak disengaja (spontaneus
abortion/ijhadl al-dzati) dan pengguguran yang dilakukan karena
disengaja (provocatus abortus/ijhadl al- ‘alaji. Menurut istilah
kedokteran, aborsi berarti pengakhiran kehamilan sebelum gestasi (28
minggu) atau sebelum bayi mencapai berat 1000 gram.
Algazali
mengartikan aborsi sebagai penghilangan nyawa yang sudah ada di dalam
janin. Ia membagi dua fase keadaan janin, yaitu fase kehidupan yang
belum teramati ditandai dengan adanya proses kehidupan secara diam-diam
dan fase kehidupan yang sudah teramati, ketika ibu atau orang lain dapat
mendeteksi tanda-tanda kehidupan bayi dalam kandungan. Menurutnya,
kedua fase tersebut harus dihormati dan dihargai sebagai suatu
kehidupan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Mahmud Syaltut bahwa
kehidupan terjadi semenjak masa konsepsi, karena itu aborsi semenjak
dari masa konsepsi tidak boleh dilakukan.
Banyak cara yang
dilakukan orang di dalam melakukan oborsi. Erik Eckholm melihat ada 4
cara yang sering dilakukan dalam melakukan aborsi, yaitu:
1. Menggunakan jasa medis di rumah sakit atau tempat-tempat praktek.
2. Menggunakan jasa dukun pijat.
3. Menggugurkan sendiri kandungannya dengan alat-alat kasar.
4. Menggunakan obat-obatan tertentu.
Kehamilan
yang diperoleh melalui pasangan suami-isteri yang sah lebih banyak
menggunakan jasa yang pertama, sedangkan kehamilan sebagai hasil
hubungan gelap pada umumnya menggunakan cara-cara kedua, ketiga dan
keempat.
Awal Kehidupan Manusia
Dalam masyarakat pra-agama
samawi, janin dalam rahim tidak dianggap sebagai manusia (lav nefesh
hu) dan dianggap belum ada kehidupan di dalam rahim. Aborsi tidak
dianggap sebagai suatu pelanggaran dan para pelakunya tidak dikenakan
sanksi apa-apa.
Ketika agama Yahudi datang, aborsi sudah mulai
menjadi wacana di kalangan pemuka agama ini. Sebagian besar di antara
mereka masih memahami janin dalam rahim belum bisa dianggap manusia.
Namun demikian, kehadiran janin sudah mempunyai konsekwensi secara
etika. Pengguguran kandungan sudah dikenakan sanksi, tetapi tidak
seberat jika membunuh bayi. Hal ini bisa dilihat dalam Exodus (Keluaran)
21:22:
Apabila ada orang berkelahi dan melukai seorang perempuan
yang sedang hamil yang menyebabkan kandungannya gugur, tetapi perempuan
itu tidak cedera, maka orang itu akan didenda sesuai dengan tuntutan
suaminya dan masalah itu diselesaikan di depan hakim.
Pasal di
atas sudah mencantumkan sanksi kepada pelaku yang menyebabkan gugurnya
kandungan, tetapi kalangan rabbi menganggap pelakunya belum masuk
kategori membunuh karena janin dianggap bukan manusia yang hidup.
Kalangan rabbi lainnya menganggap janin yang sudah berusia 40 hari sudah
memiliki kehidupan dan melakukan pengguguran sesudah itu dianggap
pembunuhan. Aborsi diatas 40 hari dianggap dosa besar dan pelakunya
dapat dikenakan sanksi yang berat sebagaimana halnya membunuh bayi yang
sudah lahir. Sedangkan janin yang belum sampai 40 hari disebut cairan
biasa (maya d'alma). Sebagian rabbi berpendapat bahwa pengguguran
kandungan di bawah 40 hari tidak disebut aborsui, dan pelakunya tidak
dikenakan sanksi moral atau sanksi hukum.
Dalam tradisi Katolik,
sebagian besar ahlinya menganggap kehidupan awal itu terjadi semenjak
masa konsepsi (pembuahan). Upaya menggugurkan benih janin pasca
pembuahan termasuk dosa besar dan dapat dikenakan sanksi moral dan
sanksi hukum, sebagaimana layaknya pembunuhan seorang bayi. Bahkan Paus
Paulus pernah menyatakan bahwa kehidupan janin harus lebih diutamakan
daripada kehidupan ibunya. Sebagian ilmuan Katolik yang berhaluan
moderat, seperti St. Jerome, penerjemah Vulgate Bible, membedakan janin
yang sebelun dan yang sudah berumur 40 hari. Pengguguran kandungan di
bawah 40 hari tidak bisa disamakan dengan pembunuhan terhadap bayi yang
sudah lahir.
Dalam Islam, sikap ulama terhadap kapan kehidupan
awal manusia juga berbeda- beda. Sebagian ulama, seperti Imam Malik,
menganggap masa konsepsi sebagai awal kehidupan manusia, karena itu
aborsi sejak awal tidak dibenarkan. Melakukan aborsi termasuk dosa besar
dan dapat dikenakan hukuman berat. Sebagian lainnya, seperti Imam Abu
Hanifa, sebagaian pengikut Imam Syafi' dan pengikut Ahmad Ibn Hambal,
menganggap bahwa awal kehidupan manusia ketika ia berada dalam usia
akhir bulan keempat, karena baru pada masa ini sebuah janin diberikan
roh dari Tuhan. Konsekwensinya, pengguguran kandungan dibawah akhir
bulan keempat dianggap bukan dosa besar dan tidak dapat dikenakan sanksi
hukum sebagaimana halnya janin yang sudah berumur empat bulan
Kapan Aborsi Dibolehkan?
Dalam
agama Yahudi terdapat perbedaan pendapat mengenai kapan dibenarkan
seseorang nelakukan aborsi. Sebagian kalangan fundamentalisme
mengharamkan secara mustlak pengguguran kandungan. Sebagian lainnya
membenarkan dengan beberapa syarat, antara lain, sang ibu terancam
jiwanya kalau kandungannya diteruskan, atau janin di dalam rahim
mengalami kelainan fatal (malformation). Faktor sosial dan ekonomi tidak
dapat dijadikan alasan untuk menggugurkan kandungan menurut agama ini.
Di
dalam dunia kedokteran, ada beberapa hal yang memungkinkan aborsi dapat
dipertimbangkan, yautu non-Psychiatrik Medical risk, psyichiatrc Risk,
spected Risk, spected or Proven Adnormality of fetus, dan masalah Rap.
Sementara dalam sejarah intelektual Islam dikenal pula beberapa
pembenaran, yaitu: Tradisi Kristen dan Islam memiliki persamaan prinsip
dengan agama Yahudi, yaitu aborsi secara umum hukum dasarnya haram,
kecuali ada qarinah (alasan) yang sangat logis dan tidak menyalahi hukum
dan perundang-undangan.
Akibat Hukum Aborsi
Janin di
dalam rahim mengalami perkembangan nuthfah, ‘alaqah, mudhgah, dan
pemberian nyawa (nafkh al-ruh). Para ulama sepakat bahwa aborsi yang
dilakukan setelah nafkh al-ruh hukumnya haram dan pelakunya dianggap
berdosa besar dan harus dikenakan sanksi pidana (jinayat). Sedangkan
aborsi yang dilakukan sebelum nafkh al-ruh terdapat perbedaan pendapat
di kaangan ulama.
Pertama, sebagian pengikut Hanafiah, Malikiyah,
Iamam Gazali, dan Ibn al- Jauzi mengharamkan aborsi pasca masa
konsepsi. Konsekwensinya, para pelakunya harus dikenakan sanksi. Alasan
paraulama tersebut antara lain dengan mengutip hadis sebagai berikut:
1.
Sesungguhnya Allah Swt bila ingin menciptakan manusia, Ia mempertemukan
antara laki-laki dan perempuan yang kemudian akan mencampur sperma ke
setiap pembuluh anggutanya. Jika sudah sampai pada hari ketujuh Alla Swt
menghimpunnya lalu mendatangkan pada setiap pembuluhnya, kecuali
penciptaan Adam (H.R. al-Thabrani).
2. Sesungguhnya setiap orang
di antara kalian merupakan hasil proses percampuran di dalam perut
ibunya selama 40 hari, kemudian berproses menjadi ‘alaqah, kemudian
berproses menjadi mudlgah, kemudian Allah Swt memerintahkan malaikat
menentukan rezkinya, ajalnya, kesensaraan dan kebahagiaannya, lalu
ditiupkan kepadanya roh (H.R. Bukhari)
Kedua, golongan yang
berpendapat bahwa pengguguran kandungan dapat dilihat dari berbagai
fase, sebagai berikut: 1. Kalau benih janin masih dalam bentuk nuthfah
menggugurkannya dianggap makruh. Sedangkan kalau sudah dalam bentuk
mudlgah, maka menggugurkannya dianggap haram menurut Malikiyah, dan
makruh tanzih, menurut Syafi’iyah dengan catatan, pengguguran itu atas
izin suaminya. 2. Pada fase nuthfah hukumnya mubah dan pada fase
al-‘alaqah dan mudlgah hukumnya haram. 3. Pada fase nuthfah dan ‘alaqah
masih dibolehkan tetapi haram pada fase mudlgah. Alasan golongan ini
umnya mengutip dan memahami hadis sebagai berikut: Apabila nuthfah telah
melalui masa 42 malam, Allah akan mengutus kepadanya Malaikat untuk
memberi bentuk, menciptakan pendengaran, penglihatan, kulit, daging, dan
tulang-belulang (H.R. Muslim).
Ketiga, golongan yang membolehkan
aborsi pada setiap tahap sebelum pemberian nyawa (nafkh al-ruh).
Pendapat ini paling kuat di kalangan Hanafiyah. Alasan yang dikemukakan
adalah sebagai berikut: 1. Setiap orang yang belum diberi nyawa tidak
akan dibangkitkan Allah di hari kiamat. Setiap sesuatu yang tidak
dibangkitkan berarti keberadaannya tidak diperhitungkan, dengan demikian
tidak ada larangan untuk mrnggugurkannya. 2. Janin sebelum diberi nyawa
tidak tergolong sebagai manusia, maka tidak ada larangan untuk
menggugurkannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS. Fathir: 28).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang paling takut pada Allah dengan takut yang sebenarnya adalah para ulama (orang yang berilmu). Karena semakin seseorang mengenal Allah Yang Maha Agung, Maha Mampu, Maha Mengetahui dan Dia disifati dengan sifat dan nama yang sempurna dan baik, lalu ia mengenal Allah lebih sempurna, maka ia akan lebih memiliki sifat takut dan akan terus bertambah sifat takutnya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 308).