Jumat, 26 September 2014

Leukemia

Leukemia atau kanker darah merupakan penyakit yang sering dipakai untuk menguras air mata penonton. Jadi, istilah kanker darah sudah tidak asing lagi di telinga anda. Tapi tahukah anda apa dan bagaimana kanker darah itu?
Sebelum kita bicarakan lebih jauh tentang leukemia, ada baiknya kita mengenal dulu sumsum tulang sebab penyakit leukemia awalnya bersumber dari sana.
Sumsum tulang adalah jaringan lunak yang ada pada setiap tulang. Di sumsum tulang inilah sel darah dibuat. Sel darah yang pabriknya ada pada sumsum tulang yakni :
  • Sel darah putih, tugasnya melindungi tubuh dari infeksi.
  • Sel darah merah, tugasnya membawa oksigen ke seluruh organ tubuh.
  • Platelet atau trombosit, tugasnya membantu proses pembekuan darah.
Pada orang normal, semua fungsi ini berjalan sebagaimana mestinya, tetapi tidak pada penderita leukemia. Sumsum tulang memproduksi sel darah putih abnormal dalam jumlah besar. Sel sel ini kemudian dikenal dengan nama sel leukemia. Tidak seperti sel darah putih umumnya, sel leukemia tumbuh sangat cepat bahkan mereka mampu tumbuh tiada henti.
Celakanya, pertumbuhan luar biasa sel leukemia ini mampu mendesak sel sel darah yang normal. Sehingga munculah masalah kesehatan seperti anemia, perdarahan dan infeksi. Sel leukemia juga menyebar ke kelenjar limfe dan organ lainnya menyebabkan pembengkakan dan rasa sakit.
Leukemia khan ada tipe tipenya, apa sih perbedaan pada masing masing tipe?
Ada bermacam tipe leukemia namun pada umumnya leukemia dibedakan berdasar seberapa cepat leukemia mampu membuat kondisi pasien lebih buruk dan jenis sel darah putih yang terlibat.
  • Akut dan khronis. Leukemia akut, perburukan terjadi sangat cepat dan pasien dapat merasakan keluhan saat itu juga sebaliknya leukemia khronis perburukan terjadi sangat lambat dan pasien tidak merasakan keluhan apapun dalam beberapa tahun.
  • Limpositik dan myelogenus. Leukemia limfositik atau limfoblastik melibatkan sel darah putih limfosit sementara leukemia myelogenus melibatkan sel darah putih myelosit.
Nah, dari penjelasan diatas, maka dibuatlah 4 macam tipe utama leukemia yaitu :
  •  Acute lymphoblastic leukemia atau ALL, leukemia yang banyak terjadi pada anak anak namun orang dewasa pun bisa menderitanya.
  • Acute myelogenous leukemia atau AML, leukemia yang dapat menyerang anak anak dan dewasa.
  • Chronic lymphocytic leukemia atau CLL, leukemia yang banyak terjadi pada orang dewasa, umumnya umur diatas 50 tahun. Anak anak jarang menderitanya.
  • Chronic myelogenous leukemia atau CML, leukemia yang umum terjadi pada orang dewasa.
Lalu timbul pertanyaan, apa sih penyebab leukemia itu?
Para ahli sampai saat ini belum dapat memastikan penyebab leukemia, tapi ada beberapa hal yang diduga sebagai faktor resiko terjadinya leukemia. Hal hal tersebut antara lain :
  • Terpapar radiasi dalam jumlah yang banyak.
  • Terpapar bahan kimia seperti benzena di tempat kerja.
  • Sedang menjalani kemoterapi kanker lain.
  • Menderita down syndrome atau masalah genetik lainnya.
  • Merokok.
Namun demikian, banyak juga orang yang memiliki faktor resiko diatas tetapi tidak menderita leukemia dan demikian pula sebaliknya.
Nah, sekarang gejala leukemia itu apa aja?
Gejala leukemia terggantung tipe leukemia yang diderita, tapi gejala yang umum terjadi antara lain :
  • Demam dan berkeringat di malam hari.
  • Sakit kepala.
  • Mudah memar dan berdarah.
  • Nyeri persendian dan tulang tulang.
  • Bengkak dan nyeri pada perut akibat pembesaran limfa.
  • Pembengkakan pada kelenjar limfe ketiak, leher dan lipatan paha.
  • Sering terkena infeksi.
  • Merasa lemas dan lesu.
  • Berat badan menurun demikian pula dengan nafsu makan.
Bagaimana leukemia didiagnosa?
Untuk mengetahui apakah anda menderita leukemia atau bukan, dokter akan :
  • Menanyakan tentang gejala yang anda rasakan termasuk riwayat terjadinya gejala tersebut.
  • Melakukan pemeriksaan fisik.
  • Melakukan pemeriksaan darah.
Jika pada pemeriksaan darah ditemukan ketidaknormalan maka akan dilanjutkan dengan biopsi sumsum tulang. Pemeriksaan ini memungkinkan seorang dokter melihat sel sel yang ada di dalam sumsum tulang. Kunci utama informasi tentang leukemia ada disini termasuk moda pengobatan yang diperlukan.
Bagaimana sih caranya ngobatin leukemia?
Pengobatan leukemia terggantung banyak hal termasuk tipe leukemia yang anda derita, seberapa lama diderita dan umur serta kondisi kesehatan secara umum.
  • Pada leukemia akut, dilakukan pengobatan secara cepat untuk menghentikan pertumbuhan sel leukemia yang juga cepat. Pada beberapa kasus, leukemia dapat mengalami remisi. Beberapa dokter lebih memilih istilah remisi daripada sembuh karena ada kemungkinan kanker akan muncul kembali.
  • Pada leukemia limfositik khronis, pengobatan tidak akan dilakukan sampai gejala muncul. Tapi pada leukemia myelogenus khronis, pengobatan dapat dilakukan segera. Leukemia khronis jarang bisa disembuhkan, pengobatan hanya dilakukan untuk mengendalikan penyakit.

Neurobehavior

12 Sensory

PENGARUH BAHAN TOKSIK PADA SISTEM SARAF: PERHATIAN KHUSUS PADA PENGARUH PESTISIDA TERHADAP TUMBUH KEMBANG ANAK

Kondisi iklim global yang makin tak menentu membuat semua
kalangan kalang kabut. Ekosistem yang berubah dengan cepat
memaksa orang berpikir ulang, apakah sebenarnya yang terjadi?
Pembalakan hutan, hunian baru di daerah resapan air, polusi udara
karena buangan gas karbon dioksida, limbah pabrik, rumah kaca serta
penggunaan AC meningkatkan temperatur di sekeliling kita. Benua
Antartika yang biasanya beku oleh es berangsur-angsur mencair.

Ikan dan terumbu karang di laut hancur akibat polusi limbah
yang dihasilkan pabrik. Petani banyak merugi karena perubahan cuaca
yang tak dapat diprediksi sebelumnya. Penyakit-penyakit baru muncul
akibat daya tahan tubuh menurun, virus flue burung, HIV, AIDS
meningkat jumlahnya, flue babi, serta infeksi-infeksi lainnya. Bencana
datang silih berganti mulai dari Tsunami, gunung meletus, tanah
longsor, banjir dimana-mana, serta yang lainnya.
Belum lagi Pestisida yang biasa digunakan untuk membasmi
penyakit tumbuhan serta pemakaiannya di lingkungan ternyata
meningkatkan jumlah anak hiperaktif, gangguan tumbuh kembang dan
efek negatif lainnya.

Hal-hal tersebut diatas membuat kita bertanya-tanya apakah
sebenarnya yang terjadi disekeliling kita?
Dari latar belakang masalah-masalah tersebut marilah kita
analisa mulai dari dalam rumah tinggal kita. Makin majunya zaman,
menuntut kita bekerja serba cepat. Ayah dan ibu yang bekerja,
kesulitan mendapat pembantu rumah tangga, harus mengerjakan
pekerjaan di rumah secara cepat. Tersajilah mie instan dengan MSGnya.
Pakaian yang dicuci dengan mesin cuci menggunakan bahan
kimia sebagai pembersihnya. Makin menjamurnya layanan laundry
yang sudah merambah ke desa, limbah detergen dibuang ke sungai
akan menimbulkan polusi. Pengguna air sungai dapat menderita gatalgatal,
radang kulit atau dermatitis. Ikan di dalamnya mati akibat bahan
kimia yang masuk ke sungai. Hal yang akan memperparah keadaan
adalah buangan limbah industri yang secara kuantitas lebih banyak
jumlahnya.

 Penggunaan AC serta kulkas di masing-masing rumah jelas akan
menyerap suhu lingkungan hingga meningkat akibat mesin pendingin
tersebut. Bahan kimiawi sebagai pengawet makanan, pewarna, lapisan
melamin untuk piring, mangkok, dan alat rumah tangga lainnya ikut
menambah beratnya polusi (Aribowo & Sudarmadji, 2007).
Pemberian melamin untuk meningkatkan kualitas susu bubuk di
China, ternyata berdampak negatip terhadap bayi. Gagal ginjal dan
kemungkinan meningkatnya kasus kanker merupakan salah satu efek
samping yang akan diderita bayi setelah meminumnya. Pralon yang
digunakan untuk lewat air minum pun mengandung Plumbum yang
ditengarai berefek negatif terhadap kesehatan.

Makanan dengan pewarna sintetis pakaian disalahgunakan untuk
pewarna makanan. Tak kurang hebatnya lagi disajikan di halaman
sekolah dengan warna mencolok yang sangat menarik bagi anak-anak
sekolah mulai dari Play Group sampai SLTA. Perhitungan bisnis
untuk meraup untung sebanyak-banyaknya menghalalkan bahan
pewarna pakaian untuk dicampurkan ke dalam makanan tanpa
mempertimbangkan bahaya di kemudian hari dengan timbulnya
kanker pada kandung kemih (Santoso, 1983).

Mono sodium glutamate (MSG) atau yang lebih dikenal sebagai
penyedap makanan ke depannya dapat membuat anak menjadi
hiperaktif dan agresif akibat pacuan MSG terhadap sel-sel otak anak.
MSG juga banyak dikandung di dalam mie instan yang hampir dapat
dipastikan setiap orang pernah mengkonsumsinya. Akibatnya antara
lain dapat meningkatkan prevalensi anak hiperaktif (Schettler, 2003).





Limbah industri sering kali belum dikelola dengan baik. Banyak
yang dibuang ke sungai, sehingga menimbulkan masalah. Lingkungan
dapat tercemar, mungkin tumbuh-tumbuhan banyak yang mati, hewan
piaraan sakit, air sumur terpajan, serta udara sekeliling kurang sehat.
Industri batu baterei juga dapat berimbas pada anak-anak dengan
gangguan tumbuh kembang, bahkan cenderung menjadi kretinisme.
Pengaruh terhadap orang tua dapat menjadi demensia, dermatitis serta
benjolan di kulit yang ternyata adalah tumor.

Pajanan Merkuri sebagai bahan pemrosesan emas dan perak
juga berimbas negatip. Peristiwa Newmont di Sulawesi Utara
merupakan salah satu bukti yang harus diwaspadai, walaupun
akhirnya dinyatakan tidak berbahaya. Kerusakan lingkungan yang
terjadi di Freeport, Papua pun tidak kalah menariknya untuk
direnungkan.
Global warming yang baru saja dibicarakan menunjukkan
banyaknya efek negatif yang ditimbulkan bukan saja dari beberapa
Negara, bahkan efeknya sudah mempengaruhi alam semesta. Kota
besar yang membutuhkan paru-paru untuk lingkungan sudah terkikis
oleh bangunan yang menjulang tinggi. Efek yang ditimbulkan
terhadap karyawan-karyawan yang bekerja disitu antara lain berupa
Influenza yang berkepanjangan memberikan tantangan tersendiri,
sebenarnya perubahan apa saja yang mempengaruhi kesehatan
seseorang?

Dengan segala pengaruh berdampak negatip terhadap
lingkungan bila dianalisa dari salah satu aspek pertanian, banyak
laporan masuk tentang efek samping yang ditimbulkan penggunaan
Insektisida karena kurang tepat pelaksanaannya. Dosis yang
seharusnya digunakan, penggunaan alat pelindung yang dianggap
mengganggu, cara mencampur Insektisida dengan jari tangan,
penyemprotan tanpa mempertimbangkan arah angin, merupakan
masalah yang ikut berperan untuk terjadinya keracunan (Sudarmadji,
1999).

Penelitian pendahuluan terhadap petani di Kecamatan Sinduadi,
Mlati, Sleman, Derah Istimewa Yogyakarta terhadap penyemprot
dengan Pestisida menimbulkan nyeri kepala, mata panas dan berair,
anggota gerak merasa kebas dan baal, serta terjadi penurunan aktivitas
Cholin esterase dalam serum darahnya (Sudarmadji, 1994). Penelitian
berikutnya terhadap petani penyemprot dengan Pestisida di
Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
mendapatkan hasil rekaman ENMG saraf tepi ke empat anggota gerak
mengalami perpanjangan latensi serta penurunan amplitudo saraf yang
mengurusi lengan dan kaki. Hal tersebut merupakan gejala awal
neuropati atau penurunan fungsi saraf tepi dalam kekuatan maupun
kepekaan terhadap rangsang di kulit, walaupun secara pribadi belum
dikeluhkan yang bersangkutan (Sudarmadji, 1995)



Pengganti DDT adalah golongan Organofosfat. Insektisida
direkomendasikan karena larut didalam air dan lemak. Waktu paruh
yang relatif singkat diharapkan cepat diekskresi keluar tubuh.
Penelitian yang dilakukan Sudarmadji (1996) mendapatkan gambaran
bahwa pola kebersihan, kebiasaan hidup bersih serta penggunaan alat
pelindung masih minim dipakai di Kecamatan Kokap dan. Girimulyo,
Kabupaten Kulon Progo serta Kecamatan Kemiri dan Pituruh
Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah sebagai daerah endemis Malaria.
Lokasi Kulon Progo dan Purworejo yang berhubungan langsung,
mobilitas penduduk yang cukup tinggi memperbesar risiko
terjangkitnya Malaria yang dibawa nyamuk

Lokasi pegunungan yang
berbukit-bukit, mata air yang dikelilingi tumbuhan rimbun sangat
nyaman untuk tempat bertelurnya nyamuk. Peran dalam
mempertahankan endemisitas Malaria di dua Kabupaten tersebut
sangat didukung oleh kondisi geografis.
Ketidaktahuan mengenai bahaya Pestisida merupakan penyebab
timbulnya efek samping yang tidak diharapkan. Sebelum melakukan
penyemprotan, setiap petugas sudah mendapatkan pengarahan untuk
pelaksanaan di lapangan. Cara mencampur Fenitrothion menggunakan
ujung jari tangan merupakan kondisi yang paling sering dijumpai pada
waktu melakukan evaluasi ke lapangan. Penggunaan alat pelindung
yang terdiri dari topi, kaca mata, apron, baju lengan panjang, masker,
sarung tangan, celana panjang serta sepatu boot jarang dipakai.

Alasannya cukup beragam, mulai dari rasa panas dan berkeringat saat
menggunakan topi, sarung tangan, apron dan sepatu boot, gelap bila
memakai kaca mata pelindung merupakan alasan kenapa alat-alat
pelindung tersebut tidak digunakan. Saat jam istirahat antara jam 12
sampai jam 1 siang tanpa mencuci tangan langsung makan atau
merokok. Pulang melakukan penyemprotan, baju dan celana panjang
tidak dilepas, sehingga bila kehujanan Fenitrothion yang melekat di
baju dan celana akan terserap masuk tubuh melalui kulit. Belum lagi
yang terhirup lewat udara serta masuk saat makan. Hal-hal tersebut
menambah jumlah Fenitrothion dalam tubuh. Status asetilasi lambat
dari masing-masing penyemprot akan menambah akumulasi
Fenitrothion.

Next .... ( Insya Allah)


Pesticide Free Ontario Canadian Association of Physician for the
environment Grade poll survey report Toronto ON Oracle Pub
2007. Avaible from www.flora.org./healthtyottawa/
pfo9620CAPE5620.
Rowley DL, Rab MA, Hardjotanoyo W, Liddle J, Burse VW, Saleem
M, Sokal D, Falk H & Head SL, 1987. Convulsions Caused by
Endrin Poisoning in Pakistan. Pediatrics, 79:928-34
Santoso B, 1983. Genetics and enviromental influences on
polymorphic drug acetylation Disertasi. Claremont Place, New
castle Upon tyne
Santoso U. 2009. Peranan Ahli Pangan dalam mendukung keamanan
dan kehalalan pangan. Pidato pengukuhan, UGM, Yogyakarta
Schettler T, 2003. Developmental Disabilities- Impairment of
Children”s Brain Development and Function: The Role of
Enviroment


Selasa, 02 September 2014

My old story

What is Thalassemia

Thalassemias (thal-a-SE-me-ahs) are inherited blood disorders. "Inherited" means that the disorder is passed from parents to children through genes.
Thalassemias cause the body to make fewer healthy red blood cells and less hemoglobin (HEE-muh-glow-bin) than normal. Hemoglobin is an iron-rich protein in red blood cells. It carries oxygen to all parts of the body. Hemoglobin also carries carbon dioxide (a waste gas) from the body to the lungs, where it's exhaled.
People who have thalassemias can have mild or severe anemia (uh-NEE-me-uh). Anemia is caused by a lower than normal number of red blood cells or not enough hemoglobin in the red blood cells.

Overview

Normal hemoglobin, also called hemoglobin A, has four protein chains—two alpha globin and two beta globin. The two major types of thalassemia, alpha and beta, are named after defects in these protein chains.
Four genes (two from each parent) are needed to make enough alpha globin protein chains. Alpha thalassemia trait occurs if one or two of the four genes are missing. If more than two genes are missing, moderate to severe anemia occurs.
The most severe form of alpha thalassemia is called alpha thalassemia major or hydrops fetalis. Babies who have this disorder usually die before or shortly after birth.
Two genes (one from each parent) are needed to make enough beta globin protein chains. Beta thalassemia occurs if one or both genes are altered.
The severity of beta thalassemia depends on how much one or both genes are affected. If both genes are affected, the result is moderate to severe anemia. The severe form of beta thalassemia is known as thalassemia major or Cooley's anemia.
Thalassemias affect males and females. The disorders occur most often among people of Italian, Greek, Middle Eastern, Southern Asian, and African descent. Severe forms usually are diagnosed in early childhood and are lifelong conditions.
Doctors diagnose thalassemias using blood tests. The disorders are treated with blood transfusions, medicines, and other procedures.

Outlook

Treatments for thalassemias have improved over the years. People who have moderate or severe thalassemias are now living longer and have better quality of life.
However, complications from thalassemias and their treatments are frequent. People who have moderate or severe thalassemias must closely follow their treatment plans. They need to take care of themselves to remain as healthy as possible.

Kamis, 21 Agustus 2014

Perawatan Luka Tetanus

Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan neuromuskular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh eksotosin spesifik dari kuman anaerob Clostridium tetani. Tetanus dapat terjadi sebagai komplikasi luka, baik luka besar maupun kecil, luka nyata maupun luka tersembunyi. Jenis luka yang mengundang tetanus adalah luka-luka seperti Vulnus laceratum (luka robek), Vulnus punctum (luka tusuk), combustion (luka bakar), fraktur terbuka, otitis media, luka terkontaminasi, luka tali pusat.

Diyakini bahwa Penyakit tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani yaitu sejenis kuman gram positif yang dalam keadaan biasa berada dalam bentuk spora dan dalam suasana anaerob berubah menjadi bentuk vegetatif yang memproduksi eksotoksin antara lain neurotoksin tetanospasmin dan tetanolysmin.  Toksin inilah yang menimbulkan gejala – gejala penyakit tetanus.

Bentuk spora Clostridium tetani terdapat di sekitar kita seperti pada tanah, rumput – rumput, kayu, kotoran hewan dan manusia.  Kuman ini untuk pertumbuhannya membutuhkan suasana anaerob yang akan terjadi apabila luka dengan banyak jaringan nekrotik di dalamnya, atau luka dengan pertumbuhan bakteri lain terutama bakteri pembuat nanah seperti Staphyloccus aureus.

Istilah “ tetanus prone wound ” yaitu luka yang cenderung menyebabkan penyakit tetanus antara lain luka dengan patah tulang terbuka, luka tembus, luka dengan berisi benda asing, terutama pecahan kayu, luka dengan infeksi pyogenic, luka dengan kerusakan jaringan yang luas, luka bakar luas grade II dan III, luka superfisial yang nyata berkontaminasi dengan tanah atau pupuk kotoran binatang di mana luka itu terlambat lebih dari 4 jam baru mendapat topical desinfektansia atau pembersihan secara bedah, abortus dengan septis, melahirkan dengan pertolongan persalinan yang tidak adekuat, pemotongan dan perawatan tali pusat tidak adekuat, gigitan binatang dengan banyak jaringan nekrotik, ulserasi kulit dengan jaringan nekrotik, segala macam tipe gangrena, operasi bedah pada saluran cema mulai dari mulut sampai anus, otitis media puralenta.  Masa inkubasi penyakit tetanus tidak selalu sama tapi pada umumnya 8 – 12 hari, akan tetapi dapat juga 2 hari atau beberapa minggu bahkan beberapa bulan.  Bertambah pendek masa inkubasi bertambah berat penyakit yang ditimbulkannya.

Penyakit tetanus tidak menimbulkan kekebalan pada orang yang telah diserangnya.  Angka kematian penderita tetanus sangat tinggi sekitar 50 %, angka itu akan bertambah besar pada rumah sakit yang belum lengkap peralatan perawatan intensifnya, mungkin lebih rendah pada rumah sakit dengan perawatan intensif yang sudah lengkap.
Oleh sebab itu pencegahan penyakit ini sangat penting dan perlu mendapat perhatian yang utama.  Usaha yang ditempuh mengatasi penyakit ini adalah :
a.         Memberikan kekebalan aktif kepada semua orang
b.   Melakukan tindakan profilaksis tetanus terhadap orang yang luka secara benar dan tepat.
c.    Mengobati penderita tetanus dengan perawatan intensif secara multidisipliner.

Tetanus dapat terjadi sebagai komplikasi luka, baik luka besar maupun luka kecil, luka nyata maupun tersembunyi.  Tetanus merupakan penyakit akut yang disebabkan oleh kuman Clostridium tetani yang menghasilkan eksotoksin bersifat anaerob.  Clostridium tetani merupakan hasil gram positif, dan bersifat anaerob.
Jenis luka yang mengundang tetanus adalah luka – luka seperti vulnus laceratum (luka robek), vulnus punctum (luka tusuk), combustio (luka bakar), fraktur terbuka, otitis media, luka terkontaminasi, luka tali pusat.

Masa inkubasi penyakit ini adalah 1 – 54 hari, rata – rata 8 hari.  Semakin lambat debrimen dan penanganan antitoksin, semakin pendek masa inkubasinya dan semakin buruk pula prognosisnya.  Kuman masuk ke dalam luka melalui tanah, debu atau kotoran.
Terdapat beberapa faktor yang memperburuk prognosis seperti masa inkubasi yang pendek, stadium penyakit yang parahm penderita yang lanjut usia, neonatus, kenaikan suhu yang tinggi, pengobatan yang lambat, adanya komplikasi seperti status konvulsivus, gagal jantung, fraktur vertebra, pneumonia.

Ciri khas kejang pada tetanus yaitu kejang tanpa penurunan kesadaran.  Dan awitan penyakit (waktu dari timbulnya gejala pertama sehingga terjadi kejang) adalah 24 – 72 jam.
Gambar : Spasme otot akibat masuknya toksin dari kuman Clostridium tetani


Patogenesis dan Patofisiologi
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka. Semua jenis luka dapat terinfeksi oleh kuman tetanus seperti luka laserasi, luka tusuk, luka tembak, luka bakar, luka gigit oleh manusia atau binatang, luka suntikan dan sebagainya. Pada 60 % dari pasien tetanus, port  d’entre terdapat didaerah kaki terutama pada luka tusuk. Infeksi tetanus dapat juga terjadi melalui uterus sesudah persalinan atau abortus provokatus. Pada bayi baru lahir Clostridium tetani dapat melalui umbilikus setelah tali pusat dipotong tanpa memperhatikan kaidah asepsis antisepsis.

Otitis media atau gigi berlubang dapat dianggap sebagai port d’entre, bila pada pasien tetanus tersebut tidak dijumpai luka yang diperkirakan sebagai tempat masuknya kuman tetanus. Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif bila lingkungannya memungkinkan untuk perubahan bentuk tersebut dan kemudian mengeluarkan ekotoksin. Kuman tetanusnya sendiri tetap tinggal di daerah luka, tidak ada penyebaran kuman. Kuman ini membentuk dua macam eksotoksin yang dihasilkan yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin dalam percobaan dapat menghancurkan sel darah merah tetapi tidak menimbulkan tetanus secara langsung melainkan menambah optimal kondisi lokal untuk berkembangnya bakteri. Tetanospasmin terdiri dari protein yang bersifat toksik terhadap sel saraf. Toksin ini diabsorbsi oleh end organ saraf di ujung saraf motorik dan diteruskan melalui saraf sampai sel ganglion dan susunan saraf pusat. Bila telah mencapai susunan saraf pusat dan terikat dengan sel saraf, toksin tersebut tidak dapat dinetralkan lagi. Saraf yang terpotong atau berdegenerasi, lambat menyerap toksin, sedangkan saraf sensorik sama sekali tidak menyerap.



Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif anaerob, Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke dalam tubuh yang mengalami cedera/luka (masa inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin (tetanus, gas ganggren, dipteri, botulisme). Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan dan pemotonga tali pusat yang tidak steril. 

Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction  serta syaraf autonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang. Akhirnya menyebar ke SSP.

Gejala klinis yang ditimbulakan dari eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol/ eksitasi terus menerus dan spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter. Neuron, yang melepaskan gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor utama, sangat sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan kegagalan penghambatan refleks respon motorik terhadap rangsangan sensoris. Kekakuan mulai pada tempat masuknya kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum tulang belakang terjadi kekakuan yang berat, pada extremitas, otot-otot bergari pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks serebri, menderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Karakteristik dari spasme tetani ialah menyebabkan kontraksi umum kejang otot agonis dan antagonis. Racun atau neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang berasal dari system saraf kranial, dengan gejala awal distorsi wajah dan punggung serta kekakuan dari otot leher.

Tetanospasmin pada system saraf otonom juga verpengaruh, sehingga terjadi gangguan pernapasan, metabolism, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama janjung, hiperflexi, hyperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf ototnom, yang dulu jarang karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernapasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan di kelola dengan teliti.

Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara :
·         Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
·         Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.
·         Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral ganglioside.

Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS ) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urine.
Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas .
Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:

1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa kekornu anterior susunan syaraf pusat
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.

Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk bergerak) pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering disebut lockjaw karena biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah. Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan pernafasan dan rasio kematian sangatlah tinggi.

 Tanda – tanda dan gejala – gejala klinis
Gejala pertama biasanya rasa sakit pada luka, diikuti trismus (kaku rahang, sukar membuka mulut lebar – lebar), rhisus sardonicus (wajah setan).  Kemudian diikuti kaku buduk, kaku otot perut, gaya berjalan khas seperti robot, sukar menelan, dan laringospasme.  Pada keadaan yang lebih berat terjadi epistothonus (posisi cephalic tarsal), di mana pada saat kejang badan penderita melengkung dan bila ditelentangkan hanya kepada dan bagian tarsa kaki saja yang menyentuh dasar tempat berbaring.
Dapat terjadi spasme diafragma dan otot – otot pernapasan lainnya.  Pada saat kejang penderita tetap dalam keadaan sadar.  Suhu tubuh normal hingga subfebris.  Sekujur tubuh berkeringat.


Karakteristik Penyakit
Kejang – kejang bertambah beram selama tiga hari pertama, menetap selama 5 – 7 hari.  Setelah 10 hari, frekuensi kejang mulai berkurang, setelah 2 minggu kejang menghilang.  Dan kaku otot hilang paling cepat mulai minggu ke-4.


Stadium Tetanus
Berdasarkan gejala klinisnya maka stadium klinis tetanus dibagi menjadi stadium klinis pada anak dan stadium klinis pada orang dewasa.
Stadium klinis pada anak. Terdiri dari :
Stadium 1, dengan gejala klinis berupa trisnus (3 cm) belum ada kejang rangsang, dan belum ada kejang spontan.
Stadium 2, dengan gejala klinis berupa trismus (3 cm), kejang rangsang, dan belum ada kejang spontan.
Stadium 3, dengan gejala klinis berupa trismus (1 cm), kejang rangsang, dan kejang spontan.
Stadium klinis pada orang dewasa.  Terdiri dari :
Stadium 1      :           trisnus
Stadium 2      :           opisthotonus
Stadium 3      :           kejang rangsang
Stadium 4      :           kejang spontan
Prinsip – prinsip Umum Profilaksis
Pertimbangan individual penderita.  Pada setiap penderita luka harus ditentukan apakah perlu tindakan profilaksis terhadap tetanus dengan mempertimbangkan keadaan / jenis luka, dan riwayat imunisasi.
Debridemen.  Tanpa memperhatikan status imunisasi.  Eksisi jaringan yang nekrotik dan benda asing harus dikerjakan untuk semua jenis luka.
Imunisasi aktif.  Tetanus toksoid (TFT = VST = vaksin serap tetanus) diberikan dengan dosis sebanyak 0,5 cc IM, diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan berturut – turut.
DPT (Dephteri Pertusis Tetanus) terutama diberikan pada anak. Diberikan pada usia 2 – 6 bulan dengan dosis sebesar 0,5 cc IM, 1 x sebulan selama 3 bulan berturut – turut. Booster diberikan pada usia 12 bulan, 1 x 0,5 cc IM, dan antara umur 5 – 6 tahun 1 x 0,5 cc IM.
Tetanus toksoid.  Imunisasi dasar dengan dosis 0,5 cc IM, yang diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan berturut – turut.  Booster (penguat) diberikan 10 tahun kemudian setelah suntikan ketiga imunisasi dasar, selanjutnya setiap 10 tahun setelah pmberian booster di atas.
Setiap penderita luka harus mendapat tetanus toksoid IM pada saat cedera, baik sebagai imunisasi dasar maupun sebagai booster, kecuali bila penderita telah mendapatkan booster atau menyelesaikan imunisasi dasar dalam 5 tahun, terakhir.
Imunisasi Pasif.  ATS (Anti Tetanus Serum), dapat merupakan antitoksin bovine (asal lembu) maupun antitoksin equine (asal kuda).  Dosis yang diberikan  untuk orang dewasa adalah 1500 IU per IM, dan untuk anak adalah 750 IU per IM.
Human Tetanus Immunoglobuline (asal manusia), terkenal di pasaran dengan nama Hypertet.  Dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah 250 IU per IM (setara dengan 1500 IU ATS), sedang untuk anak – anak adalah 125 IU per IM.  Hypertet diberikan bila penderita alergi terhadap ATS yang diolah dari hewan.
Pemberian imunisasi pasif tergantung dari sifat luka, kondisi penderita, dan status imunisasi.
Pasien yang belum pernah mendapat imunisasi aktif maupun pasif, merupakan keharusan untuk diimunisasi. Pemberian imunisasi secara IM, jangan sekali – kali secara IV.
Kerugian hypertet adalah harganya yang mahal, sedangkan keuntungannya pemberiannya tanpa didahului tes sensitivitas.
Tindakan profilaksis
Jenis Luka
Belum IA atau sebagian
Mendapat IA yang lengkap
1 – 5 tahun
5 – 10 tahun
> 10 tahun
Ringan, bersih
Mulai atau melengkapi IA toks. 0,5 cc hingga lengkap
-
Toks. 0,5 cc
Toks. 0,5 cc
Berat, bersih, atau cenderung tetanus
ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
Toks. 0,5 cc
Toks. 0,5 cc
ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
Cenderung tetanus, debrimen terlambat,m atau tidak bersih
ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
Hingga lengkap ABT
Toks. 0,5 cc
Toks. 0,5 cc
ABT
ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
ABT
Keterangan   :
ATS 1500 IU setara dengan HTIG (Humane Tetanus Immunoglobuline) 250 IU.
Pada anak – anak dosis ATS        =          dosis dewasa
IA                    =          Imunisasi aktif (dengan toksoid)
Toks    =          Toksoid (vaksin serap tetanus)
ABT    =          antibiotika dosis tinggi yang sesuai untuk Clostridium tetani
Penatalaksanaan tetanus
Terdiri atas    :
1.         Pemberian antitoksin tetanus
2.         Penatalaksanaan luka
3.         Pemberian antibiotika
4.         Penanggulangan kejang
5.         Perawatan penunjang
6.         Pencegahan komplikasi
Pemberian antitoksin tetanus.  Pemberian serum dalam dosis terapetik untuk ATS bagi orang dewasa adalah sebesar 10.000 – 20.000 IU IM dan untuk anak – anak sebesar 10.000 IU IM, untuk hypertet bagi orang dewasa adalah sebesar 300 IU – 6000 IU IM dan bagi anak – anak sebesar 3000 IU IM.  Pemberian antitoksin dosis terapetik selama 2 – 5 hari berturut – turut.
Penatalaksanaan luka.  Eksisi dan debridemen luka yang dicurigai harus segera dikerjakan 1 jam setelah terapi sera (pemberian antitoksin tetanus).  Jika memungkinkan dicuci dengan perhydrol.  Luka dibiarkan terbuka untuk mencegah keadaan anaerob.  Bila perlu di sekitar luka dapat disuntikan ATS.
Pemberian antibiotika. Obat pilihannya adalah Penisilin, dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah sebesar 1,2 juta IU/8 jam IM, selama 5 hari, sedang untuk anak – anak adalah sebesar 50.000 IU/kg BB/hari, dilanjutkan hingga 3 hari bebas panas.
Bila penderita alergi terhadap penisilin, dapat diberikan tetrasiklin.  Dosis pemberian tetrasiklin pada orang dewasa adalah 4 x 500 mg/hari, dibagi dalam 4 dosis.
Pengobatan dengan antibiotika ditujukan untuk bentuk vegetatif clostridium tetani, jadi sebagai pengobatan radikal, yaitu untuk membunuh kuman tetanus yang masih ada dalam tubuh, sehingga tidak ada lagi sumber eksotoksin.
ATS atau HTIG ditujukan untuk mencegah eksotoksin berikatan dengan susunan saraf pusat (eksotoksin yang berikatan dengan susunan saraf pusat akan menyebabkan kejang, dan sekali melekat maka ATS / HTIG tak dapat menetralkannya.  Untuk mencegah terbentuknya eksotoksin baru maka sumbernya yaitu kuman clostridium tetani harus dilumpuhkan, dengan antibiotik.
Penaggulangan Kejang.  Dahulu dilakukan isolasi karena suara dan cahaya dapat menimbulkan serangan kejang.  Saat ini prinsip isolasi sudah ditinggalkan, karena dengan pemberian anti kejang yang memadai maka kejang dapat dicegah.
Jenis Obat
Dosis Anak – anak
Dosis Orang Dewasa
Fenobarbital
(Luminal)
Mula – mula 60 – 100 mg IM, kemudian 6 x 30 mg per oral.  Maksimum 200 mg/hari
3 x 100 mg IM
Klorpromazin
(Largactil)
4 – 6 mg/kg BB/hari, mula – mula IM, kemudian per oral
3 x 25 mg IM
Diazepam
(Valium)
Mula – mula 0,5 – 1 mg/kg BB IM, kemudian per oral 1,5 – 4 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 6 dosis
3 x 10 mg IM
Klorhidrat
-
3 x 500 – 100 mg per rectal
Bila kejang belum juga teratasi, dapat digunakan pelemas otot (muscle relaxant) ditambah alat bantu pernapasan (ventilator).  Cara ini hanya dilakukan di ruang perawatan khusus (ICU = Intesive Care Unit) dan di bawah pengawasan seorang ahli anestesi.
Perawatan penunjang.  Yaitu dengan tirah baring, diet per sonde, dengan asupan sebesar 200 kalori / hari untuk orang dewasa, dan sebesar 100 kalori/kg BB/hari untuk anak – anak, bersihkan jalan nafas secara teratur, berikan cairan infus dan oksigen, awasi dengan seksama tanda – tanda vital (seperti kesadaran, keadaan umum, tekanan darah, denyut nadi, kecepatan pernapasan), trisnus (diukur dengan cm setiap hari), asupan / keluaran (pemasukan dan pengeluaran cairan), temperatur, elektrolit (bila fasilitas pemeriksaan memungkinkan), konsultasikan ke bagian lain bila perlu.
Pencegahan komplikasi.  Mencegah anoksia otak dengan (1) pemberian antikejang, sekaligus mencegah laringospasme, (2) jalan napas yang memadai, bila perlu lakukan intubasi (pemasangan tuba endotrakheal) atau lakukan trakheotomi berencana, (3) pemberian oksigen.
Mencegah pneumonia dengan membersihkan jalan napas yang teratur, pengaturan posisi penderita berbaring, pemberian antibiotika.  Mencegah fraktur vertebra dengan pemberian antikejang  yang memadai.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul adalah : pneumonia, terutama karena aspirasi : asfiksi, terutama pada saat kejang, status konvulsivus, fraktur vertebra, akibat kejang.
Beberapa pertimbangan
Pengobatan dengan ATS hingga saat ini belum jelas hasilnya, karena itu ada ahli yang menggunakan dan ada yang tidak menggunakannya.  Bila digunakan, keberatannya adalah mengenai harga, tetapi bila digunakanpun tidak berbahaya kecuali pada penderita yang hipersensitif.  Kemampuan perlindungan ATS ini hanya berlangsung selama 2 – 3 minggu saja.
Tes Sinsitivitas terhadap ATS
Dilakukan untuk mengetahui apakah seorang penderita tahan terhadap ATS hewan atau tidak.  Untuk melakukan tes tersebut ada dua cara yaitu tes kulit (skin test dan tes mata / eye test).
Tes kulit.  Sering dilakukan (lebih disukai dari pada tes mata).  Caranya yaitu 0,1 cc serum diencerkan dengan akuades atau cairan NaC1 0,9 % menjadi   1 cc.  Suntikkan 0,1 cc dari larutan yang telah diencerkan tadi pada lengan bawah sebelah voler secara intrakutan, tunggulah selama 15 menit.  Reaksi positif (penderita hipersensitif terhadap serum) bila terjadi infiltrat / indurasi dengan diameter lebih besar dari 10 mm (1 cm), yang dapat disertai rasa panas dan gatal.
Tes mata.  Caranya yaitu dengan meneteskan 1 tetes cairan serum pada mata, tunggulah 15 menit.  Reaksi positif bila mata merah dan bengkak.
Penderita yang hipersensitif terhadap ATS Hewan.  Pada penderita ini terdapat 3 kemungkinan, yaitu : (1) pemberian hypertet (HTIG), (2) pemberian ATS hewan secara desensitisasi (cara Bedreska), (3) ATS tidak diberikan.

Desensitisasi cara Bedreskad
Adalah pemberian ATS pada penderita yang hipersensitif terhadap penyuntikan langsung, tetapi tidak dapat diberi HTIG karena suatu hal.  Dalam hal ini wajib memberikan ATS dengan pertimbangan kemungkinan terjadinya tetanus pada luka besar.  Pada cara Bedreska ini, pengawasan dilakukan bertahap.  Bila timbul reaksi hebat, pemberian tidak boleh diteruskan.
Cara pemberiannya sebagai berikut :
1.   0,1 cc serum + 0,9 cc akuades atau NaC1 0,9 % disuntikkan secara subkutanm tunggulah selama 30 menit.
2.   Sesudahnya, suntikkan 0,5 cc serum + 0,5 cc serum +0,5 cc akuades atau NaC1 0,9 % secara subkutan, tunggulah 30 menit.  Perhatikan reaksi.  Bila tampak tanda – tanda penderita hipersensitif (tanda profromalsyok anafilaktik), hentikan pemberian, dan berikan antihistamin serta kortikosteroid.  Rawat penderita sesuai keadaannya.
3.   Bila tidak ada reaksi berarti setelah 30 menit sisa serum dapat disuntikkan secara intramuskuler.
Desensitisasi ini bertahan selama 2 – 3 minggu, jadi bila keesokan harinya atau hari – hari berikutnya (dalam masa 2 – 3 minggu tersebut) perlu dilakukan suntikan ulangan, maka cara Bersredka tak perlu diiulangi. Pada cara Besredka, sebaiknya perlengkapan P3K yaitu obat yag diperlukan untuk menanggulangi syok anafilaktik tetap tersedia.

A.   Memberikan kekebalan aktif kepada semua orang
Yang dimaksud dengan semua orang di sini mulai dari bayi sampai orang tua berumur puluhan tahun, bahkan bayi sebelum lahirpun sudah harus diberi kekebalan melalui ibu yang sedang hamil.
Pokoknya semua penduduk haruslah sudah mempunyai kekebalan terhadap tetanus.  Caranya dengan menyuntikkan toksoid tetanus (dimurnikan) = vaccin serap tetanus = tetanus toxoidum punficatum sebanyak 0,5 cc intra muskuler.
Untuk immunisasi dasar 3 kali berturut – turut dengan interval antara suntikan pertama dengan kedua 4 – 6 minggu, antara kedua dengan ketiga 6 bulan.  Immunisasi dasar sudah boleh dimulai waktu anak berumur sekitar 4 bulan yang dapat diberikan bersama vaksin diphteri, pertusis dalam bentuk vaksin DTP atau DT atau diberikan terpisah – pisah.  Kalau seseorang belum pernah mendapatkannya maka imunisasi dasar dapat dilakukan kapan saja sepanjang hidupnya, dengan dosis dan interval yang sama seperti di atas.  Seseorang yang telah mendapat immunisasi dasar lengkap (3 kali suntikan) maka dalam jangka waktu 10 tahun setelah suntikan terakhir, kandungan antitoksin tetanus dalam serum darahnya berada di atas garis perlindungan minimal (=minimum protective level) yaitu garis 0,01 i.u/ml, jadi orang itu dianggap sudah terlindung terhadap tetanus. 

Setelah suntikan pertama kali timbul rangsangan terhadap tubuh untuk membentuk antitoksin tetanus.  Dia terdapat dalam serum setelah 7 hari suntikan pertama, kemudian titernya menarik dan pada hari ke-28.  Kalau pada hari ke-28 itu diberikan suntikan kedua, titernya akan menanjak terus dan akan mencapai 1,0 i.u pada hari ke 60 yaitu jauh di atas garis proteksi minimal walau kemudian ada penurunan, diperkirakan titer itu akan tetap berada di atas garis proteksi minimal selama 5 tahun.  Bila suntikan ketiga diberikan 6 bulan sesudah suntikan kedua, titernya jauh lebih tinggi, walau kemudian akan ada penurunan, tetapi tetap berada di atas garis proteksi minimal sampai 10 tahun, bahkan 15 – 20 tahun yang didapatkan pada 85 – 95 % personil perang dunia kedua.


Walau demikian untuk proteksi terhadap penyakit perlu dilakukan suntikan booster setiap 5 tahun paling lambat 10 tahun atau setiap seseorang luka di mana diperkirakan titer antitoksin tetanus dalam serumnya sudah mulai menurun walau masih di atas garis proteksi minimal terutama untuk luka yang disebut “ tetanus prona wound ”.  Pemberian booster akan menaikkan titer antitoksin berlipat ganda jumlahnya.
Ada istilah proteksi persial terhadap tetanus, maksudnya ialah :

a.   Orang – orang yang telah mendapat suntikan vaksin tetanus sebanyak 3 kali, tetapi suntikan terakhir sudah lebih dari 10 tahun.
b.   Orang – orang yang telah mendapat vaksin tetanus 2 kali dan waktunya telah lebih dari 5 tahun.
c.    Orang – orang yang mendapat suntikan hanya 1 kali saja.
Perlu dijelaskan bahwa toksin tetanus (dimumikan) tidak akan menimbulkan reaksi hipersensitif terhadap orang yang disuntik, karena itu dapat diberikan berulang kali, sangat jarang ada reaksi allergi, kalaupun ada reaksinya ringan saja.
Kepada semua dokter dan petugas kesehatan bertanggung jawab untuk memberikan vaksinasi tetanus terhadap anggota masyarakat yang berada di bawah salah seorang anggotanya menderita tetanus maka pertama – tama salah dalam hal ini adalah dokter perusahaan tersebut, mengapa dia lalai memberikan kekebalan aktif terhadap anggota yang menjadi tanggung jawabnya.

B.   Melakukan profilaksi tetanus terhadap orang yang luka secara benar dan tepat
Ada 4 faktor yang perlu diperhatikan :
1.   Pemberian vaksin tetanus
2.   Perawatan luka secara bedah yang benar
3.   Pemberian antitoksin tetanus
4.   Pemberian antibiotika dan identifikasi catatan medis emergency

1.   Pemberian vaksin tetanus
Pemberian ini ditujukan sebagai booster terhadap pasien yang luka yang telah mendapat vaksinasi tetanus sebelumnya, tujuannya untuk menaikkan titer antitoksin dan akan memberikan perlindungan yang efektif dalam jangka waktu yang lama.
Pemberian vaksin tetanus pada saat luka terhadap pasien yang sama sekali belum pernah divaksinasi terhadap tetanus, tidaklah dapat menjamin perlindungan terhadap tetanus, karena untuk mendapatkan antitoksin dalam serum sampai di garis proteksi minimal dibutuhkan waktu 2 – 3 minggu, sedangkan masa inkubasi tetanus ada yang lebih cepat.  Dalam hal inilah diperlukan pemberian antitoksin (immunisasi pasif) bersamaan dengan pemberian toksodi tetanus tadi.

2.         Perawatan luka secaa bedah yang benar
Pencegahan secara bedah ini bertujuan untuk membuang clostridium tetani yang berkontak dengan luka, membuang jaringan yang tidak vital lagi untuk mencegah suasana anaerob, dan sebaik mungkin melakukan rekonstruksi luka sehingga terjadi suasana aerob.  Untuk mencapai maksud tersebut diperlukan :
1.         Luka dirawat secepat mungkin
2.   Teknik aseptik dengan memakai sarung tangan steril, mencuci kulit sekitar luka dengan cairan yang cukup sebelum tindakan bedah.
3.   Menutup luka dengan kasa steril waktu mencuci luka tadi.
4.   Cahaya haruslah cukup agar secara cermat mengidentifikasi jaringan yang vital seperti saraf dan pembuluh darah.
5.   Instrumen harus lengkap, pembantu cukup agar penarikan jaringan secara halus untuk mencegah kerusakan jaringan yang lebih besar.
6.   Perdarahan dikontrol dengan instrumen yang tepat dan benang yang cukup kecil agar jaringan nekrotik minimum yang tinggal di dalam luka.
7.   Jaringan diperlukan secara halus agar jaringan menambah jaringan nekrotik dalam luka.
8.   Diberikan secara komplit dengan memakai pisau untuk meratakan pinggir luka yang compang – camping, mengangkat jaringan yang sudah diragukan vitalitasnya, mengangkat benda asing sampai tidak ada yang tertinggal.

3.   Pemberian antitoksin tetanus
Antitoksin tetanus pada dasarnya ada 2
a.   Heterologous antitoksin
b.   Tetanus immun Globulin (human)
Heterologous antitoksin (ATS) diambil dari serum kuda yang telah divaksinasikan sebelumnya.  Jadi mengandung protein kuda (protein asing) dan pemberian kedua dan seterusnya menimbulkan reaksi sensitivity yang hebat sampai dapat terjadi anafilaktik shock.  Oleh sebab itu sebelum pemberian perlu ditest lebih dahulu.

Tetanus Immun Globulin (human)
Diambil dari serum manusia.  Dalam perdagangan bermacam – macam nama seperti Hu-Tet, Hyper-Tet, Homo-Tet dan sebagainya.  Jenis ini jarang sekali menimbulkan reaksi hipersensitivity, kalau ada sangat ringan antitoksin diberikan harus dengan indikasi yang jelas.
Indikasi pemberian antitoksin tetanus adalah :
1.   Luka yang kotor atau tetanus proma wound yang terjadi pada orang yang belum pernah mendapat immunisasi aktif, atau orang itu dengan proteksi tetanus persial.
2.   Pengobatan pasien dengan tetanus.
Dosis pemberian tetanus immuno-globulin (human) untuk profilaksis adalah :
-     Orang dewasa                                                               :           250 u – 500 u
-     Anak di atas 10 tahun                                      :           250 u
-     Anak 5 – 10 tahun                                                        :           125 u
-     Anak di bawh\ag 5 tahun                                :           75 u
Tetanus immuno-globulin (human) ini bertahan dalam darah selama 1 bulan.  Untuk pengobatan penderita tetanus diberikan dosis 3000 – 6000 unit intra muskuler pada otot gluteus, sebagian diinfitrasikan sekitar luka.
Antitoksin serum kuda (ATS) diberikan bila human antitoksin tidak ada, dosisnya untuk profilaksis 1500 – 3000 unit bagi orang dewasa, anak – anak sesuai umur.  ATS bertahan dalam darah 7 – 14 hari.  Untuk pengobatan penderita tetanus dosis ATS adalah 20.000 – 40.000 unit.  Antitoksin untuk profilaksis diberikan secara simultan dengan vaksin tetanus tetapi dengan spuit dan jarum yang berbeda, juga tempat penyuntikan harus berbeda, gunanya agar jaringan terjadi aglutinasi antara keduanya. 
Grafik titer antitoksin dalam serum sesudah pemberian toksoid saja, antitoksin saja, toksoid dan antitoksin secara simultan.






Pemberian    :
1.         Toksoid saja
2.         Antitoksin saja
3.         Toksoid dan antitoksin
4.         Pemberian antibiotika dan identifikasi catatan medis emergency
Pasien dengan luka haruslah ditanyakan dan dicatat :
1.         Sudah pernahkah pasien mendapat immunisasi aktif terhadap tetanus ?
2.         Kalau sudah pernah kapan didapatkan ?
3.         Adakah reaksi terhadap tetanus toksoid itu ?
4.         Perlukah orang itu diberikan antitoksin ?
5.         Pemberian antibiotika penicilin atau tetrasiklin selama 5 hari.
INDIKASI IMMUNISASI
DATA VAKSINASI
LUKA BERSIH
LUKA KOTOR
Tetanus Toksoid
Tetanus Antitoksin
Tetanus Toksoid
Tetanus Atoksin
Tidak pernah mendapat vaksinasi atau tidak diketahui
Ya
Tidak
Ya
Ya
Satu kali mendapat vaksinasi tetanus
Ya
Tidak
Ya
Ya
Dua kali mendapat vaksinasi tetanus
Ya
Tidak
Ya
Ya
Tiga kali mendapat vaksinasi tetanus
Tidak/Ya
Tidak
Tidak/Ya
Tidak/Ya
C.   Mengobati penderita tetanus dengan perawatan intensif secara multidisipliner.  Setelah D/ ditegakkan ditentukan klasifikasi penyakit apakah ringan, sedang atau berat.  Klasifikasi ini sebagai dasar untuk menentukan pegangan klinik dan penangan pernafasan dan kardiovaskuler sebagai komplikasi penyakit ini.  Tetanus ringan ditangani secara konservatif, tetanus sedang dan berat di tangani dengan intubasi endotrakheal dan / atau trekhostomi selama pemberian positif pressure ventilasi.  Segera setelah diagnosa ditegakkan pasien dibawa ke ruangan intensif di mana personelnya telah trampil menangani problem pernafasan dan resusitasi jantung. 

Diberikan obat – obat untuk mencegah kejang, diberikan antitoksin tetanus, sebaiknya tetano immun globutin (human), bila terpaksa baru diberikan ATS.
Debridement luka dilakukan 1 – 2 jam setelah pemberian antitoksin, guna mencegah bertambah banyak neurotoksin tetanospasmin yang lepas dan terikat pada susunan saraf pusat.  Perlu diingat bahwa neurotoksin tetanospasmin yang telah terikat pada susunan saraf pusat tidak dapat dinetralisir lagi.
Pemberian antibiotika, menjaga pernafasan, penanganan kardiovaskuler, perawatan, lancarnya pasage usus, penanganan metabolisme dan makan.  Beberapa buku masih menyatakan perawatan penderita dalam kamar gelap.  Sebetulnya halnitu lebih banyak ruginya daripada untung, bagaimana perawatan yang benar dapat dilaksanakan dalam kamar yang gelap di man harus memasang alat dan pengawasan yang ketat.
Apakah penderita perlu dirawat dalam kamar isolasi ? Sebetulnya tidak perlu karena spora ada di mana – mana sekitar kita, bukan luka penderita tetanus itu.    Jelas penangan penderita harus multidisipliner.
  • Pemberian Antibiotika. Obat pilihannya adalah penisilin, dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah sebesar 1,2  juta IU/8 jam IM, selama 5 hari, sedng untuk anak-anak adalah sebesar 50.000 IU/KgB/hari, dilanjutkan hingga 3 hari bebas panas. Sebelumnya dilakukan skin test dan di observasi dengan baik. Bila penderita alergi terhadap penisilin, dapat diberikan tetrasiklin. Dosis pemberian tetrasiklin pada orang dewasa adalah 4×500 mg/hari, sedangkan untuk anak-anak adalah 40 mg/KgBB/hari, dibagi dalam 4 dosis. Begitupun Metronidazol 3 x 1 gram IV.
5.       Penanggulangan kejang. Dahulu dilakukan isolasi karena suara dan cahaya dapat menimbulkan serangan kejang. Saat ini prinsip isolasi sudah ditinggalkan, karena dengan pemberian anti kejang yang memadai maka kejang dapat dicegah. Pemberian  midazolam  2-3 mg / jam. Dan Diazepam 0,2-0,5 mg/kg BB diberikan bila terjadi kejang secara IV.
  • Perawatan penunjang. Yaitu dengan tirah baring; diet per sonde, dengan asupan sebesar 2000 kalori/hari untuk orang dewasa, dan sebesar 100 kalori/KgBB/hari untuk anak-anak; bersihkan jalan nafas secara teratur;berikan cairan infus dan oksigen;awasi dengan seksama tanda-tanda vital.
  • Pencegahan komplikasi. Mencegah anoksia otak dengan pemberian anti kejang, sekaligus mencegah laringospasme, jalan nafas yang memadai, bila perlu lakukan intubasi atau lakukan trakeotomi berencana, pemberian oksigen. Mencegah pneumonia dengan membersihkan jalan nafas yang teratur, pengaturan posisi penderita berbaring, pemberian antibiotika. Mencegah fraktur vertebra dengan pemberian antikejang yang memadai.