Tetanus merupakan
penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan
neuromuskular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot disebabkan
oleh eksotosin spesifik dari kuman anaerob Clostridium tetani.
Tetanus dapat terjadi sebagai komplikasi luka, baik luka besar maupun
kecil, luka nyata maupun luka tersembunyi. Jenis luka yang mengundang
tetanus adalah luka-luka seperti Vulnus laceratum (luka robek), Vulnus punctum (luka tusuk), combustion (luka bakar), fraktur terbuka, otitis media, luka terkontaminasi, luka tali pusat.
Diyakini bahwa Penyakit tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani yaitu
sejenis kuman gram positif yang dalam keadaan biasa berada dalam bentuk
spora dan dalam suasana anaerob berubah menjadi bentuk vegetatif yang
memproduksi eksotoksin antara lain neurotoksin tetanospasmin dan
tetanolysmin. Toksin inilah yang menimbulkan gejala – gejala penyakit
tetanus.
Bentuk spora Clostridium tetani terdapat
di sekitar kita seperti pada tanah, rumput – rumput, kayu, kotoran
hewan dan manusia. Kuman ini untuk pertumbuhannya membutuhkan suasana
anaerob yang akan terjadi apabila luka dengan banyak jaringan nekrotik
di dalamnya, atau luka dengan pertumbuhan bakteri lain terutama bakteri
pembuat nanah seperti Staphyloccus aureus.
Istilah “
tetanus prone wound ” yaitu luka yang cenderung menyebabkan penyakit
tetanus antara lain luka dengan patah tulang terbuka, luka tembus, luka
dengan berisi benda asing, terutama pecahan kayu, luka dengan infeksi
pyogenic, luka dengan kerusakan jaringan yang luas, luka bakar luas
grade II dan III, luka superfisial yang nyata berkontaminasi dengan
tanah atau pupuk kotoran binatang di mana luka itu terlambat lebih dari 4
jam baru mendapat topical desinfektansia atau pembersihan secara bedah,
abortus dengan septis, melahirkan dengan pertolongan persalinan yang
tidak adekuat, pemotongan dan perawatan tali pusat tidak adekuat,
gigitan binatang dengan banyak jaringan nekrotik, ulserasi kulit dengan
jaringan nekrotik, segala macam tipe gangrena, operasi bedah pada
saluran cema mulai dari mulut sampai anus, otitis media puralenta. Masa
inkubasi penyakit tetanus tidak selalu sama tapi pada umumnya 8 – 12
hari, akan tetapi dapat juga 2 hari atau beberapa minggu bahkan beberapa
bulan. Bertambah pendek masa inkubasi bertambah berat penyakit yang
ditimbulkannya.
Penyakit
tetanus tidak menimbulkan kekebalan pada orang yang telah diserangnya.
Angka kematian penderita tetanus sangat tinggi sekitar 50 %, angka itu
akan bertambah besar pada rumah sakit yang belum lengkap peralatan
perawatan intensifnya, mungkin lebih rendah pada rumah sakit dengan
perawatan intensif yang sudah lengkap.
Oleh sebab
itu pencegahan penyakit ini sangat penting dan perlu mendapat perhatian
yang utama. Usaha yang ditempuh mengatasi penyakit ini adalah :
a. Memberikan kekebalan aktif kepada semua orang
b. Melakukan tindakan profilaksis tetanus terhadap orang yang luka secara benar dan tepat.
c. Mengobati penderita tetanus dengan perawatan intensif secara multidisipliner.
Tetanus
dapat terjadi sebagai komplikasi luka, baik luka besar maupun luka
kecil, luka nyata maupun tersembunyi. Tetanus merupakan penyakit akut
yang disebabkan oleh kuman Clostridium tetani yang menghasilkan eksotoksin bersifat anaerob. Clostridium tetani merupakan hasil gram positif, dan bersifat anaerob.
Jenis luka yang mengundang tetanus adalah luka – luka seperti vulnus laceratum (luka robek), vulnus punctum (luka tusuk), combustio (luka bakar), fraktur terbuka, otitis media, luka terkontaminasi, luka tali pusat.
Masa
inkubasi penyakit ini adalah 1 – 54 hari, rata – rata 8 hari. Semakin
lambat debrimen dan penanganan antitoksin, semakin pendek masa
inkubasinya dan semakin buruk pula prognosisnya. Kuman masuk ke dalam
luka melalui tanah, debu atau kotoran.
Terdapat
beberapa faktor yang memperburuk prognosis seperti masa inkubasi yang
pendek, stadium penyakit yang parahm penderita yang lanjut usia,
neonatus, kenaikan suhu yang tinggi, pengobatan yang lambat, adanya
komplikasi seperti status konvulsivus, gagal jantung, fraktur vertebra,
pneumonia.
Ciri khas
kejang pada tetanus yaitu kejang tanpa penurunan kesadaran. Dan awitan
penyakit (waktu dari timbulnya gejala pertama sehingga terjadi kejang)
adalah 24 – 72 jam.
Patogenesis dan Patofisiologi
Clostridium tetani masuk
ke dalam tubuh manusia melalui luka. Semua jenis luka dapat terinfeksi
oleh kuman tetanus seperti luka laserasi, luka tusuk, luka tembak, luka
bakar, luka gigit oleh manusia atau binatang, luka suntikan dan
sebagainya. Pada 60 % dari pasien tetanus, port d’entre terdapat
didaerah kaki terutama pada luka tusuk. Infeksi tetanus dapat juga
terjadi melalui uterus sesudah persalinan atau abortus provokatus. Pada
bayi baru lahir Clostridium tetani dapat melalui umbilikus
setelah tali pusat dipotong tanpa memperhatikan kaidah asepsis
antisepsis.
Otitis media atau gigi berlubang dapat dianggap sebagai port d’entre, bila pada pasien tetanus tersebut tidak dijumpai luka yang diperkirakan sebagai tempat masuknya kuman tetanus. Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif bila lingkungannya memungkinkan untuk perubahan bentuk tersebut dan kemudian mengeluarkan ekotoksin. Kuman tetanusnya sendiri tetap tinggal di daerah luka, tidak ada penyebaran kuman. Kuman ini membentuk dua macam eksotoksin yang dihasilkan yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin dalam percobaan dapat menghancurkan sel darah merah tetapi tidak menimbulkan tetanus secara langsung melainkan menambah optimal kondisi lokal untuk berkembangnya bakteri. Tetanospasmin terdiri dari protein yang bersifat toksik terhadap sel saraf. Toksin ini diabsorbsi oleh end organ saraf di ujung saraf motorik dan diteruskan melalui saraf sampai sel ganglion dan susunan saraf pusat. Bila telah mencapai susunan saraf pusat dan terikat dengan sel saraf, toksin tersebut tidak dapat dinetralkan lagi. Saraf yang terpotong atau berdegenerasi, lambat menyerap toksin, sedangkan saraf sensorik sama sekali tidak menyerap.
Otitis media atau gigi berlubang dapat dianggap sebagai port d’entre, bila pada pasien tetanus tersebut tidak dijumpai luka yang diperkirakan sebagai tempat masuknya kuman tetanus. Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif bila lingkungannya memungkinkan untuk perubahan bentuk tersebut dan kemudian mengeluarkan ekotoksin. Kuman tetanusnya sendiri tetap tinggal di daerah luka, tidak ada penyebaran kuman. Kuman ini membentuk dua macam eksotoksin yang dihasilkan yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin dalam percobaan dapat menghancurkan sel darah merah tetapi tidak menimbulkan tetanus secara langsung melainkan menambah optimal kondisi lokal untuk berkembangnya bakteri. Tetanospasmin terdiri dari protein yang bersifat toksik terhadap sel saraf. Toksin ini diabsorbsi oleh end organ saraf di ujung saraf motorik dan diteruskan melalui saraf sampai sel ganglion dan susunan saraf pusat. Bila telah mencapai susunan saraf pusat dan terikat dengan sel saraf, toksin tersebut tidak dapat dinetralkan lagi. Saraf yang terpotong atau berdegenerasi, lambat menyerap toksin, sedangkan saraf sensorik sama sekali tidak menyerap.
Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif anaerob, Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke dalam tubuh yang mengalami cedera/luka (masa inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin (tetanus, gas ganggren, dipteri, botulisme). Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang
dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya
benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan
kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari
tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan dan pemotonga tali pusat yang tidak steril.
Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa.
Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti
pusat sistem saraf termasuk otak. Gejala klinis timbul sebagai dampak
eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf autonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan
setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal ke dalam
sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang.
Akhirnya menyebar ke SSP.
Gejala klinis yang ditimbulakan dari eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol/ eksitasi terus menerus dan spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter. Neuron, yang melepaskan gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor utama, sangat sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan kegagalan penghambatan refleks respon motorik terhadap rangsangan sensoris. Kekakuan mulai pada tempat masuknya kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum tulang belakang terjadi kekakuan yang berat, pada extremitas, otot-otot bergari pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks serebri, menderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Karakteristik dari spasme tetani ialah menyebabkan kontraksi umum kejang otot agonis dan antagonis. Racun atau neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang berasal dari system saraf kranial, dengan gejala awal distorsi wajah dan punggung serta kekakuan dari otot leher.
Gejala klinis yang ditimbulakan dari eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol/ eksitasi terus menerus dan spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter. Neuron, yang melepaskan gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor utama, sangat sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan kegagalan penghambatan refleks respon motorik terhadap rangsangan sensoris. Kekakuan mulai pada tempat masuknya kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum tulang belakang terjadi kekakuan yang berat, pada extremitas, otot-otot bergari pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks serebri, menderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Karakteristik dari spasme tetani ialah menyebabkan kontraksi umum kejang otot agonis dan antagonis. Racun atau neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang berasal dari system saraf kranial, dengan gejala awal distorsi wajah dan punggung serta kekakuan dari otot leher.
Tetanospasmin
pada system saraf otonom juga verpengaruh, sehingga terjadi gangguan
pernapasan, metabolism, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran
kemih, dan neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama
janjung, hiperflexi, hyperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan
saraf ototnom, yang dulu jarang karena penderita sudah meninggal sebelum
gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernapasan
mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali
dan di kelola dengan teliti.
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara :
· Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
· Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.
· Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral ganglioside.
Beberapa
penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS ) dengan
gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti
takikhardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urine.
Timbulnya
kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan meningkatnya
aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi
trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif
terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya
menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi
agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas .
Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:
1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa kekornu anterior susunan syaraf pusat
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.
Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk bergerak) pada voluntary muscles (otot
yang geraknya dapat dikontrol), sering disebut lockjaw karena biasanya
pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah. Kematian biasanya
disebabkan oleh kegagalan pernafasan dan rasio kematian sangatlah
tinggi.
Tanda – tanda dan gejala – gejala klinis
Gejala pertama biasanya rasa sakit pada luka, diikuti trismus (kaku rahang, sukar membuka mulut lebar – lebar), rhisus sardonicus (wajah
setan). Kemudian diikuti kaku buduk, kaku otot perut, gaya berjalan
khas seperti robot, sukar menelan, dan laringospasme. Pada keadaan yang
lebih berat terjadi epistothonus (posisi cephalic tarsal), di mana pada
saat kejang badan penderita melengkung dan bila ditelentangkan hanya
kepada dan bagian tarsa kaki saja yang menyentuh dasar tempat berbaring.
Dapat
terjadi spasme diafragma dan otot – otot pernapasan lainnya. Pada saat
kejang penderita tetap dalam keadaan sadar. Suhu tubuh normal hingga
subfebris. Sekujur tubuh berkeringat.
Karakteristik Penyakit
Kejang –
kejang bertambah beram selama tiga hari pertama, menetap selama 5 – 7
hari. Setelah 10 hari, frekuensi kejang mulai berkurang, setelah 2
minggu kejang menghilang. Dan kaku otot hilang paling cepat mulai
minggu ke-4.
Stadium Tetanus
Berdasarkan
gejala klinisnya maka stadium klinis tetanus dibagi menjadi stadium
klinis pada anak dan stadium klinis pada orang dewasa.
Stadium klinis pada anak. Terdiri dari :
Stadium 1, dengan gejala klinis berupa trisnus (3 cm) belum ada kejang rangsang, dan belum ada kejang spontan.
Stadium 2, dengan gejala klinis berupa trismus (3 cm), kejang rangsang, dan belum ada kejang spontan.
Stadium 3, dengan gejala klinis berupa trismus (1 cm), kejang rangsang, dan kejang spontan.
Stadium klinis pada orang dewasa. Terdiri dari :
Stadium 1 : trisnus
Stadium 2 : opisthotonus
Stadium 3 : kejang rangsang
Stadium 4 : kejang spontan
Prinsip – prinsip Umum Profilaksis
Pertimbangan individual penderita.
Pada setiap penderita luka harus ditentukan apakah perlu tindakan
profilaksis terhadap tetanus dengan mempertimbangkan keadaan / jenis
luka, dan riwayat imunisasi.
Debridemen. Tanpa memperhatikan status imunisasi. Eksisi jaringan yang nekrotik dan benda asing harus dikerjakan untuk semua jenis luka.
Imunisasi aktif.
Tetanus toksoid (TFT = VST = vaksin serap tetanus) diberikan dengan
dosis sebanyak 0,5 cc IM, diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan berturut –
turut.
DPT (Dephteri Pertusis Tetanus)
terutama diberikan pada anak. Diberikan pada usia 2 – 6 bulan dengan
dosis sebesar 0,5 cc IM, 1 x sebulan selama 3 bulan berturut – turut.
Booster diberikan pada usia 12 bulan, 1 x 0,5 cc IM, dan antara umur 5 –
6 tahun 1 x 0,5 cc IM.
Tetanus toksoid.
Imunisasi dasar dengan dosis 0,5 cc IM, yang diberikan 1 x sebulan
selama 3 bulan berturut – turut. Booster (penguat) diberikan 10 tahun
kemudian setelah suntikan ketiga imunisasi dasar, selanjutnya setiap 10
tahun setelah pmberian booster di atas.
Setiap
penderita luka harus mendapat tetanus toksoid IM pada saat cedera, baik
sebagai imunisasi dasar maupun sebagai booster, kecuali bila penderita
telah mendapatkan booster atau menyelesaikan imunisasi dasar dalam 5
tahun, terakhir.
Imunisasi Pasif. ATS (Anti Tetanus Serum), dapat merupakan antitoksin bovine (asal lembu) maupun antitoksin equine (asal kuda). Dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah 1500 IU per IM, dan untuk anak adalah 750 IU per IM.
Human Tetanus Immunoglobuline (asal manusia),
terkenal di pasaran dengan nama Hypertet. Dosis yang diberikan untuk
orang dewasa adalah 250 IU per IM (setara dengan 1500 IU ATS), sedang
untuk anak – anak adalah 125 IU per IM. Hypertet diberikan bila
penderita alergi terhadap ATS yang diolah dari hewan.
Pemberian imunisasi pasif tergantung dari sifat luka, kondisi penderita, dan status imunisasi.
Pasien yang
belum pernah mendapat imunisasi aktif maupun pasif, merupakan keharusan
untuk diimunisasi. Pemberian imunisasi secara IM, jangan sekali – kali
secara IV.
Kerugian hypertet adalah harganya yang mahal, sedangkan keuntungannya pemberiannya tanpa didahului tes sensitivitas.
Tindakan profilaksis
Jenis Luka
|
Belum IA atau sebagian
|
Mendapat IA yang lengkap
|
||
1 – 5 tahun
|
5 – 10 tahun
|
> 10 tahun
|
||
Ringan, bersih
|
Mulai atau melengkapi IA toks. 0,5 cc hingga lengkap
|
-
|
Toks. 0,5 cc
|
Toks. 0,5 cc
|
Berat, bersih, atau cenderung tetanus
|
ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
|
Toks. 0,5 cc
|
Toks. 0,5 cc
|
ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
|
Cenderung tetanus, debrimen terlambat,m atau tidak bersih
|
ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
Hingga lengkap ABT
|
Toks. 0,5 cc
|
Toks. 0,5 cc
ABT
|
ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
ABT
|
Keterangan :
ATS 1500 IU setara dengan HTIG (Humane Tetanus Immunoglobuline) 250 IU.
Pada anak – anak dosis ATS = dosis dewasa
IA = Imunisasi aktif (dengan toksoid)
Toks = Toksoid (vaksin serap tetanus)
ABT = antibiotika dosis tinggi yang sesuai untuk Clostridium tetani
Penatalaksanaan tetanus
Terdiri atas :
1. Pemberian antitoksin tetanus
2. Penatalaksanaan luka
3. Pemberian antibiotika
4. Penanggulangan kejang
5. Perawatan penunjang
6. Pencegahan komplikasi
Pemberian antitoksin tetanus.
Pemberian serum dalam dosis terapetik untuk ATS bagi orang dewasa
adalah sebesar 10.000 – 20.000 IU IM dan untuk anak – anak sebesar
10.000 IU IM, untuk hypertet bagi orang dewasa adalah
sebesar 300 IU – 6000 IU IM dan bagi anak – anak sebesar 3000 IU IM.
Pemberian antitoksin dosis terapetik selama 2 – 5 hari berturut – turut.
Penatalaksanaan luka.
Eksisi dan debridemen luka yang dicurigai harus segera dikerjakan 1 jam
setelah terapi sera (pemberian antitoksin tetanus). Jika memungkinkan
dicuci dengan perhydrol. Luka dibiarkan terbuka untuk mencegah keadaan
anaerob. Bila perlu di sekitar luka dapat disuntikan ATS.
Pemberian antibiotika.
Obat pilihannya adalah Penisilin, dosis yang diberikan untuk orang
dewasa adalah sebesar 1,2 juta IU/8 jam IM, selama 5 hari, sedang untuk
anak – anak adalah sebesar 50.000 IU/kg BB/hari, dilanjutkan hingga 3
hari bebas panas.
Bila
penderita alergi terhadap penisilin, dapat diberikan tetrasiklin. Dosis
pemberian tetrasiklin pada orang dewasa adalah 4 x 500 mg/hari, dibagi
dalam 4 dosis.
Pengobatan dengan antibiotika ditujukan untuk bentuk vegetatif clostridium tetani, jadi
sebagai pengobatan radikal, yaitu untuk membunuh kuman tetanus yang
masih ada dalam tubuh, sehingga tidak ada lagi sumber eksotoksin.
ATS atau
HTIG ditujukan untuk mencegah eksotoksin berikatan dengan susunan saraf
pusat (eksotoksin yang berikatan dengan susunan saraf pusat akan
menyebabkan kejang, dan sekali melekat maka ATS / HTIG tak dapat
menetralkannya. Untuk mencegah terbentuknya eksotoksin baru maka
sumbernya yaitu kuman clostridium tetani harus dilumpuhkan, dengan antibiotik.
Penaggulangan Kejang.
Dahulu dilakukan isolasi karena suara dan cahaya dapat menimbulkan
serangan kejang. Saat ini prinsip isolasi sudah ditinggalkan, karena
dengan pemberian anti kejang yang memadai maka kejang dapat dicegah.
Jenis Obat
|
Dosis Anak – anak
|
Dosis Orang Dewasa
|
Fenobarbital
(Luminal)
|
Mula – mula 60 – 100 mg IM, kemudian 6 x 30 mg per oral. Maksimum 200 mg/hari
|
3 x 100 mg IM
|
Klorpromazin
(Largactil)
|
4 – 6 mg/kg BB/hari, mula – mula IM, kemudian per oral
|
3 x 25 mg IM
|
Diazepam
(Valium)
|
Mula – mula 0,5 – 1 mg/kg BB IM, kemudian per oral 1,5 – 4 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 6 dosis
|
3 x 10 mg IM
|
Klorhidrat
|
-
|
3 x 500 – 100 mg per rectal
|
Bila kejang belum juga teratasi, dapat digunakan pelemas otot (muscle relaxant) ditambah alat bantu pernapasan (ventilator). Cara ini hanya dilakukan di ruang perawatan khusus (ICU = Intesive Care Unit) dan di bawah pengawasan seorang ahli anestesi.
Perawatan penunjang.
Yaitu dengan tirah baring, diet per sonde, dengan asupan sebesar 200
kalori / hari untuk orang dewasa, dan sebesar 100 kalori/kg BB/hari
untuk anak – anak, bersihkan jalan nafas secara teratur, berikan cairan
infus dan oksigen, awasi dengan seksama tanda – tanda vital (seperti kesadaran, keadaan umum, tekanan darah, denyut nadi, kecepatan pernapasan),
trisnus (diukur dengan cm setiap hari), asupan / keluaran (pemasukan
dan pengeluaran cairan), temperatur, elektrolit (bila fasilitas
pemeriksaan memungkinkan), konsultasikan ke bagian lain bila perlu.
Pencegahan komplikasi.
Mencegah anoksia otak dengan (1) pemberian antikejang, sekaligus
mencegah laringospasme, (2) jalan napas yang memadai, bila perlu lakukan
intubasi (pemasangan tuba endotrakheal) atau lakukan trakheotomi
berencana, (3) pemberian oksigen.
Mencegah
pneumonia dengan membersihkan jalan napas yang teratur, pengaturan
posisi penderita berbaring, pemberian antibiotika. Mencegah fraktur
vertebra dengan pemberian antikejang yang memadai.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul adalah : pneumonia, terutama karena aspirasi : asfiksi, terutama pada saat kejang, status konvulsivus, fraktur vertebra, akibat kejang.
Beberapa pertimbangan
Pengobatan
dengan ATS hingga saat ini belum jelas hasilnya, karena itu ada ahli
yang menggunakan dan ada yang tidak menggunakannya. Bila digunakan,
keberatannya adalah mengenai harga, tetapi bila digunakanpun tidak
berbahaya kecuali pada penderita yang hipersensitif. Kemampuan
perlindungan ATS ini hanya berlangsung selama 2 – 3 minggu saja.
Tes Sinsitivitas terhadap ATS
Dilakukan
untuk mengetahui apakah seorang penderita tahan terhadap ATS hewan atau
tidak. Untuk melakukan tes tersebut ada dua cara yaitu tes kulit (skin test dan tes mata / eye test).
Tes kulit.
Sering dilakukan (lebih disukai dari pada tes mata). Caranya yaitu 0,1
cc serum diencerkan dengan akuades atau cairan NaC1 0,9 % menjadi 1
cc. Suntikkan 0,1 cc dari larutan yang telah diencerkan tadi pada
lengan bawah sebelah voler secara intrakutan, tunggulah selama 15
menit. Reaksi positif (penderita hipersensitif terhadap serum) bila
terjadi infiltrat / indurasi dengan diameter lebih besar dari 10 mm (1
cm), yang dapat disertai rasa panas dan gatal.
Tes mata.
Caranya yaitu dengan meneteskan 1 tetes cairan serum pada mata,
tunggulah 15 menit. Reaksi positif bila mata merah dan bengkak.
Penderita yang hipersensitif terhadap ATS Hewan.
Pada penderita ini terdapat 3 kemungkinan, yaitu : (1) pemberian
hypertet (HTIG), (2) pemberian ATS hewan secara desensitisasi (cara
Bedreska), (3) ATS tidak diberikan.
Desensitisasi cara Bedreskad
Adalah
pemberian ATS pada penderita yang hipersensitif terhadap penyuntikan
langsung, tetapi tidak dapat diberi HTIG karena suatu hal. Dalam hal
ini wajib memberikan ATS dengan pertimbangan kemungkinan terjadinya
tetanus pada luka besar. Pada cara Bedreska ini, pengawasan dilakukan
bertahap. Bila timbul reaksi hebat, pemberian tidak boleh diteruskan.
Cara pemberiannya sebagai berikut :
1. 0,1 cc serum + 0,9 cc akuades atau NaC1 0,9 % disuntikkan secara subkutanm tunggulah selama 30 menit.
2.
Sesudahnya, suntikkan 0,5 cc serum + 0,5 cc serum +0,5 cc akuades atau
NaC1 0,9 % secara subkutan, tunggulah 30 menit. Perhatikan reaksi.
Bila tampak tanda – tanda penderita hipersensitif (tanda profromalsyok
anafilaktik), hentikan pemberian, dan berikan antihistamin serta
kortikosteroid. Rawat penderita sesuai keadaannya.
3. Bila tidak ada reaksi berarti setelah 30 menit sisa serum dapat disuntikkan secara intramuskuler.
Desensitisasi
ini bertahan selama 2 – 3 minggu, jadi bila keesokan harinya atau hari –
hari berikutnya (dalam masa 2 – 3 minggu tersebut) perlu dilakukan
suntikan ulangan, maka cara Bersredka tak perlu diiulangi. Pada cara
Besredka, sebaiknya perlengkapan P3K yaitu obat yag diperlukan untuk
menanggulangi syok anafilaktik tetap tersedia.
A. Memberikan kekebalan aktif kepada semua orang
Yang
dimaksud dengan semua orang di sini mulai dari bayi sampai orang tua
berumur puluhan tahun, bahkan bayi sebelum lahirpun sudah harus diberi
kekebalan melalui ibu yang sedang hamil.
Pokoknya
semua penduduk haruslah sudah mempunyai kekebalan terhadap tetanus.
Caranya dengan menyuntikkan toksoid tetanus (dimurnikan) = vaccin serap
tetanus = tetanus toxoidum punficatum sebanyak 0,5 cc intra muskuler.
Untuk
immunisasi dasar 3 kali berturut – turut dengan interval antara suntikan
pertama dengan kedua 4 – 6 minggu, antara kedua dengan ketiga 6 bulan.
Immunisasi dasar sudah boleh dimulai waktu anak berumur sekitar 4 bulan
yang dapat diberikan bersama vaksin diphteri, pertusis dalam bentuk
vaksin DTP atau DT atau diberikan terpisah – pisah. Kalau seseorang
belum pernah mendapatkannya maka imunisasi dasar dapat dilakukan kapan
saja sepanjang hidupnya, dengan dosis dan interval yang sama seperti di
atas. Seseorang yang telah mendapat immunisasi dasar lengkap (3 kali
suntikan) maka dalam jangka waktu 10 tahun setelah suntikan terakhir,
kandungan antitoksin tetanus dalam serum darahnya berada di atas garis
perlindungan minimal (=minimum protective level) yaitu garis 0,01
i.u/ml, jadi orang itu dianggap sudah terlindung terhadap tetanus.
Setelah
suntikan pertama kali timbul rangsangan terhadap tubuh untuk membentuk
antitoksin tetanus. Dia terdapat dalam serum setelah 7 hari suntikan
pertama, kemudian titernya menarik dan pada hari ke-28. Kalau pada hari
ke-28 itu diberikan suntikan kedua, titernya akan menanjak terus dan
akan mencapai 1,0 i.u pada hari ke 60 yaitu jauh di atas garis proteksi
minimal walau kemudian ada penurunan, diperkirakan titer itu akan tetap
berada di atas garis proteksi minimal selama 5 tahun. Bila suntikan
ketiga diberikan 6 bulan sesudah suntikan kedua, titernya jauh lebih
tinggi, walau kemudian akan ada penurunan, tetapi tetap berada di atas
garis proteksi minimal sampai 10 tahun, bahkan 15 – 20 tahun yang
didapatkan pada 85 – 95 % personil perang dunia kedua.
Walau demikian untuk proteksi terhadap penyakit perlu dilakukan
suntikan booster setiap 5 tahun paling lambat 10 tahun atau setiap
seseorang luka di mana diperkirakan titer antitoksin tetanus dalam
serumnya sudah mulai menurun walau masih di atas garis proteksi minimal
terutama untuk luka yang disebut “ tetanus prona wound ”. Pemberian
booster akan menaikkan titer antitoksin berlipat ganda jumlahnya.
Ada istilah proteksi persial terhadap tetanus, maksudnya ialah :
a. Orang –
orang yang telah mendapat suntikan vaksin tetanus sebanyak 3 kali,
tetapi suntikan terakhir sudah lebih dari 10 tahun.
b. Orang – orang yang telah mendapat vaksin tetanus 2 kali dan waktunya telah lebih dari 5 tahun.
c. Orang – orang yang mendapat suntikan hanya 1 kali saja.
Perlu
dijelaskan bahwa toksin tetanus (dimumikan) tidak akan menimbulkan
reaksi hipersensitif terhadap orang yang disuntik, karena itu dapat
diberikan berulang kali, sangat jarang ada reaksi allergi, kalaupun ada
reaksinya ringan saja.
Kepada
semua dokter dan petugas kesehatan bertanggung jawab untuk memberikan
vaksinasi tetanus terhadap anggota masyarakat yang berada di bawah salah
seorang anggotanya menderita tetanus maka pertama – tama salah dalam
hal ini adalah dokter perusahaan tersebut, mengapa dia lalai memberikan
kekebalan aktif terhadap anggota yang menjadi tanggung jawabnya.
B. Melakukan profilaksi tetanus terhadap orang yang luka secara benar dan tepat
Ada 4 faktor yang perlu diperhatikan :
1. Pemberian vaksin tetanus
2. Perawatan luka secara bedah yang benar
3. Pemberian antitoksin tetanus
4. Pemberian antibiotika dan identifikasi catatan medis emergency
1. Pemberian vaksin tetanus
Pemberian
ini ditujukan sebagai booster terhadap pasien yang luka yang telah
mendapat vaksinasi tetanus sebelumnya, tujuannya untuk menaikkan titer
antitoksin dan akan memberikan perlindungan yang efektif dalam jangka
waktu yang lama.
Pemberian
vaksin tetanus pada saat luka terhadap pasien yang sama sekali belum
pernah divaksinasi terhadap tetanus, tidaklah dapat menjamin
perlindungan terhadap tetanus, karena untuk mendapatkan antitoksin dalam
serum sampai di garis proteksi minimal dibutuhkan waktu 2 – 3 minggu,
sedangkan masa inkubasi tetanus ada yang lebih cepat. Dalam hal inilah
diperlukan pemberian antitoksin (immunisasi pasif) bersamaan dengan
pemberian toksodi tetanus tadi.
2. Perawatan luka secaa bedah yang benar
Pencegahan
secara bedah ini bertujuan untuk membuang clostridium tetani yang
berkontak dengan luka, membuang jaringan yang tidak vital lagi untuk
mencegah suasana anaerob, dan sebaik mungkin melakukan rekonstruksi luka
sehingga terjadi suasana aerob. Untuk mencapai maksud tersebut
diperlukan :
1. Luka dirawat secepat mungkin
2. Teknik
aseptik dengan memakai sarung tangan steril, mencuci kulit sekitar luka
dengan cairan yang cukup sebelum tindakan bedah.
3. Menutup luka dengan kasa steril waktu mencuci luka tadi.
4. Cahaya haruslah cukup agar secara cermat mengidentifikasi jaringan yang vital seperti saraf dan pembuluh darah.
5.
Instrumen harus lengkap, pembantu cukup agar penarikan jaringan secara
halus untuk mencegah kerusakan jaringan yang lebih besar.
6.
Perdarahan dikontrol dengan instrumen yang tepat dan benang yang cukup
kecil agar jaringan nekrotik minimum yang tinggal di dalam luka.
7. Jaringan diperlukan secara halus agar jaringan menambah jaringan nekrotik dalam luka.
8.
Diberikan secara komplit dengan memakai pisau untuk meratakan pinggir
luka yang compang – camping, mengangkat jaringan yang sudah diragukan
vitalitasnya, mengangkat benda asing sampai tidak ada yang tertinggal.
3. Pemberian antitoksin tetanus
Antitoksin tetanus pada dasarnya ada 2
a. Heterologous antitoksin
b. Tetanus immun Globulin (human)
Heterologous
antitoksin (ATS) diambil dari serum kuda yang telah divaksinasikan
sebelumnya. Jadi mengandung protein kuda (protein asing) dan pemberian
kedua dan seterusnya menimbulkan reaksi sensitivity yang hebat sampai
dapat terjadi anafilaktik shock. Oleh sebab itu sebelum pemberian perlu
ditest lebih dahulu.
Tetanus Immun Globulin (human)
Diambil
dari serum manusia. Dalam perdagangan bermacam – macam nama seperti
Hu-Tet, Hyper-Tet, Homo-Tet dan sebagainya. Jenis ini jarang sekali
menimbulkan reaksi hipersensitivity, kalau ada sangat ringan antitoksin
diberikan harus dengan indikasi yang jelas.
Indikasi pemberian antitoksin tetanus adalah :
1. Luka
yang kotor atau tetanus proma wound yang terjadi pada orang yang belum
pernah mendapat immunisasi aktif, atau orang itu dengan proteksi tetanus
persial.
2. Pengobatan pasien dengan tetanus.
Dosis pemberian tetanus immuno-globulin (human) untuk profilaksis adalah :
- Orang dewasa : 250 u – 500 u
- Anak di atas 10 tahun : 250 u
- Anak 5 – 10 tahun : 125 u
- Anak di bawh\ag 5 tahun : 75 u
Tetanus
immuno-globulin (human) ini bertahan dalam darah selama 1 bulan. Untuk
pengobatan penderita tetanus diberikan dosis 3000 – 6000 unit intra
muskuler pada otot gluteus, sebagian diinfitrasikan sekitar luka.
Antitoksin
serum kuda (ATS) diberikan bila human antitoksin tidak ada, dosisnya
untuk profilaksis 1500 – 3000 unit bagi orang dewasa, anak – anak sesuai
umur. ATS bertahan dalam darah 7 – 14 hari. Untuk pengobatan
penderita tetanus dosis ATS adalah 20.000 – 40.000 unit. Antitoksin
untuk profilaksis diberikan secara simultan dengan vaksin tetanus tetapi
dengan spuit dan jarum yang berbeda, juga tempat penyuntikan harus
berbeda, gunanya agar jaringan terjadi aglutinasi antara keduanya.
Grafik titer antitoksin dalam serum sesudah pemberian toksoid saja, antitoksin saja, toksoid dan antitoksin secara simultan.
|
4. Pemberian antibiotika dan identifikasi catatan medis emergency
Pasien dengan luka haruslah ditanyakan dan dicatat :
1. Sudah pernahkah pasien mendapat immunisasi aktif terhadap tetanus ?
2. Kalau sudah pernah kapan didapatkan ?
3. Adakah reaksi terhadap tetanus toksoid itu ?
4. Perlukah orang itu diberikan antitoksin ?
5. Pemberian antibiotika penicilin atau tetrasiklin selama 5 hari.
INDIKASI IMMUNISASI
DATA VAKSINASI
|
LUKA BERSIH
|
LUKA KOTOR
|
||
Tetanus Toksoid
|
Tetanus Antitoksin
|
Tetanus Toksoid
|
Tetanus Atoksin
|
|
Tidak pernah mendapat vaksinasi atau tidak diketahui
|
Ya
|
Tidak
|
Ya
|
Ya
|
Satu kali mendapat vaksinasi tetanus
|
Ya
|
Tidak
|
Ya
|
Ya
|
Dua kali mendapat vaksinasi tetanus
|
Ya
|
Tidak
|
Ya
|
Ya
|
Tiga kali mendapat vaksinasi tetanus
|
Tidak/Ya
|
Tidak
|
Tidak/Ya
|
Tidak/Ya
|
C.
Mengobati penderita tetanus dengan perawatan intensif secara
multidisipliner. Setelah D/ ditegakkan ditentukan klasifikasi penyakit
apakah ringan, sedang atau berat. Klasifikasi ini sebagai dasar untuk
menentukan pegangan klinik dan penangan pernafasan dan kardiovaskuler
sebagai komplikasi penyakit ini. Tetanus ringan ditangani secara
konservatif, tetanus sedang dan berat di tangani dengan intubasi
endotrakheal dan / atau trekhostomi selama pemberian positif pressure
ventilasi. Segera setelah diagnosa ditegakkan pasien dibawa ke ruangan
intensif di mana personelnya telah trampil menangani problem pernafasan
dan resusitasi jantung.
Diberikan obat – obat untuk mencegah kejang, diberikan antitoksin tetanus, sebaiknya tetano immun globutin (human), bila terpaksa baru diberikan ATS.
Diberikan obat – obat untuk mencegah kejang, diberikan antitoksin tetanus, sebaiknya tetano immun globutin (human), bila terpaksa baru diberikan ATS.
Debridement
luka dilakukan 1 – 2 jam setelah pemberian antitoksin, guna mencegah
bertambah banyak neurotoksin tetanospasmin yang lepas dan terikat pada
susunan saraf pusat. Perlu diingat bahwa neurotoksin tetanospasmin yang
telah terikat pada susunan saraf pusat tidak dapat dinetralisir lagi.
Pemberian
antibiotika, menjaga pernafasan, penanganan kardiovaskuler, perawatan,
lancarnya pasage usus, penanganan metabolisme dan makan. Beberapa buku
masih menyatakan perawatan penderita dalam kamar gelap. Sebetulnya
halnitu lebih banyak ruginya daripada untung, bagaimana perawatan yang
benar dapat dilaksanakan dalam kamar yang gelap di man harus memasang
alat dan pengawasan yang ketat.
Apakah
penderita perlu dirawat dalam kamar isolasi ? Sebetulnya tidak perlu
karena spora ada di mana – mana sekitar kita, bukan luka penderita
tetanus itu. Jelas penangan penderita harus multidisipliner.
- Pemberian Antibiotika. Obat pilihannya adalah penisilin, dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah sebesar 1,2 juta IU/8 jam IM, selama 5 hari, sedng untuk anak-anak adalah sebesar 50.000 IU/KgB/hari, dilanjutkan hingga 3 hari bebas panas. Sebelumnya dilakukan skin test dan di observasi dengan baik. Bila penderita alergi terhadap penisilin, dapat diberikan tetrasiklin. Dosis pemberian tetrasiklin pada orang dewasa adalah 4×500 mg/hari, sedangkan untuk anak-anak adalah 40 mg/KgBB/hari, dibagi dalam 4 dosis. Begitupun Metronidazol 3 x 1 gram IV.
5. Penanggulangan kejang. Dahulu dilakukan
isolasi karena suara dan cahaya dapat menimbulkan serangan kejang. Saat
ini prinsip isolasi sudah ditinggalkan, karena dengan pemberian anti
kejang yang memadai maka kejang dapat dicegah. Pemberian midazolam 2-3
mg / jam. Dan Diazepam 0,2-0,5 mg/kg BB diberikan bila terjadi kejang
secara IV.
- Perawatan penunjang. Yaitu dengan tirah baring; diet per sonde, dengan asupan sebesar 2000 kalori/hari untuk orang dewasa, dan sebesar 100 kalori/KgBB/hari untuk anak-anak; bersihkan jalan nafas secara teratur;berikan cairan infus dan oksigen;awasi dengan seksama tanda-tanda vital.
- Pencegahan komplikasi. Mencegah anoksia otak dengan pemberian anti kejang, sekaligus mencegah laringospasme, jalan nafas yang memadai, bila perlu lakukan intubasi atau lakukan trakeotomi berencana, pemberian oksigen. Mencegah pneumonia dengan membersihkan jalan nafas yang teratur, pengaturan posisi penderita berbaring, pemberian antibiotika. Mencegah fraktur vertebra dengan pemberian antikejang yang memadai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS. Fathir: 28).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang paling takut pada Allah dengan takut yang sebenarnya adalah para ulama (orang yang berilmu). Karena semakin seseorang mengenal Allah Yang Maha Agung, Maha Mampu, Maha Mengetahui dan Dia disifati dengan sifat dan nama yang sempurna dan baik, lalu ia mengenal Allah lebih sempurna, maka ia akan lebih memiliki sifat takut dan akan terus bertambah sifat takutnya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 308).